Mohon tunggu...
Efendi Rustam
Efendi Rustam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya memiliki ukuran moral dan persepsi sensualitas yang mungkin berbeda dengan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Kapok Menjadi Orang Pintar

13 Agustus 2015   22:04 Diperbarui: 13 Agustus 2015   22:04 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dulu, saya selalu ingin terlihat lebih pintar di antara para karyawan lain. Catat, hanya terlihat, jadi belum tentu benar-benar pintar.  Saya butuh label pintar untuk eksistensi. Berbagai cara saya lakukan. Intensitas yang sangat luar biasa membuat saya merasa paling pintar hingga lupa kalau saya sesungguhnya cuma manusia bodoh yang hanya ingin terlihat pintar saja.

Setiap kali perusahaan tempat saya bekerja mengeluarkan kebijakan baru, saya selalu ngedumel karena memang saya tidak punya keberanian menyampaikan langsung pada Bos. Terutama pada peraturan-peraturan baru yang menggangu kerja ala saya. Saya selalu bisa bilang ke setiap orang, “Menurut peraturan ini dan itu, seharusnya begini dan begitu, bla bla bla….” Hingga akhirnya teman saya marah sebab saking sibuknya berwacana, saya jadi lupa pada pekerjaan. Tumpukan pekerjaan di meja saya ternyata menjadi beban baginya.

Saya selalu share berita apa saja ke beranda facebook, tidak peduli dari mana asalnya. Bagi saya yang sudah terlanjur pintar, tidak ada yang tidak bisa saya salahkan. Saya bisa ber-status menggebu-gebu pada semua kebijakan perusahaan mulai dari divisi A sampai Z. Saya lupa kalau setiap orang punya batasan. Tidak semua hal dapat kita kuasai sama baiknya. Saya mungkin jago bermain badminton tapi ternyata saya selalu kedodoran saat lomba lari karung.

Lalu, tibalah saat dimana saya berkonfrontasi dengan seseorang. Karyawan baru. Kok, bisa-bisanya mendapat promosi jabatan di atas saya, yang pintar ini. Saya melakukan kritik. Namun sayangnya, apa yang saya sebut kritik tersebut ternyata hanya tong sampah yang berisi sumpah serapah dan caci maki. Bahkan untuk ini, saya harus mengeluarkan tenaga double karena selain ngurusi pekerjaan, saya juga terus bergerilya untuk mendapatkan kesempatan berteriak, “Sukurin, loe…!,” untuk kesalahan yang dia lakukan, sekecil apapun itu.

Saya tidak peduli. Saya selalu punya mantra pembenar untuk setiap kesalahan yang saya lakukan. Mantra yang hanya berisi satu kata, manusiawi. Wajar dong, saya salah, saya hanya manusia belaka, kalian juga sering berbuat kesalahan! Dengan semakin sering terucapnya mantra tersebut dari mulut saya, lambat laun saya menyadari ternyata itu bukan lagi tentang manusiawi atau khilaf, melainkan kebodohan.

“Ribet. Ceramah dulu macem-macem, eh, ujung-ujungnya kita juga yang ngerjain semua,” kata teman-teman kantor mengenai saya. Mereka mulai enggan berurusan dengan saya. Memang sih, saya dapat teman baru yang berhaluan sama dengan saya. Selalu mengiyakan semua yang saya katakan, namun saya seperti hidup dalam satu warna saja. Tak ada belajar dan pembelajaran dari lingkungan baru yang saya ciptakan.

Saya seorang pemalas, pendendam, atau pun no action-talk only. Itulah label yang mereka lekatkan kepada saya.

Ketika saya sibuk bergumul dengan “benar-salah” pada tindakan saya, teman-teman sudah begitu jauh melaju dengan perhitungan target, omset, dan berbagai kesuksesan-kesuksesan kecil lainnya yang tak pernah saya sadari sebelumnya. Ada report dan responsibility pada semua pekerjaannya. Mereka bisa menjadi problem solving pada kebuntuan inovasi.

Bahkan, teman yang dulu saya anggap sealiran pun ternyata mencoba menusuk saya dari belakang. Pernah saya dengar dia lapor ke pimpinan, “Bos, si itu kerjanya payah. Kenapa enggak dipecat saja?.” Untunglah Bos seorang yang bijaksana, bagi Bos, paling tidak saya masih berguna bagi perusahaan.

Ya, menurut Bos, saya memainkan peran penting bagi perusahaan, tapi peran apa? Saya jadi ingat pernah melihat di TV, seorang pimpinan perusahaan besar memaparkan kalau beliau membutuhkan 5% orang bodoh dalam perusahaannya. Sebagai monumen dan suri tauladan bagi karyawan lainnya. “Saya perlu dia sebagai monumen perusahaan. Kalau ada karyawan yang malas, saya tinggal bilang. Hai, kalian kalau malas nasibnya akan seperti dia, sampai jamuran tetap gitu-gitu aja, jabatan enggak naik-naik.”

Kini, dalam kondisi tertatih dan beban kerja yang semakin menumpuk, saya menyadari posisi manusia sebagai mahkluk sosial. Tanpa mereka saya bukan apa-apa. Saya butuh team untuk bisa maju, menyelesaikan semua beban pekerjaan dengan nuansa semangat yang positif dan konstruktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun