Mohon tunggu...
Efendi Rustam
Efendi Rustam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya memiliki ukuran moral dan persepsi sensualitas yang mungkin berbeda dengan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Menikmati Jakarta, Menghidupkan Mimpi

19 Juni 2013   00:21 Diperbarui: 25 Juli 2015   00:45 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mata Bambang tampak merah menahan kantuk. Di tangan kanan dan kirinya terjinjing kardus besar. Dengan langkah terhuyung-huyung karena menopang sebuah tas punggung, Bambang mencoba berlari mengejar bus Mayasari tujuan Kota. Pindah kost lagi. Benar-benar membuat Bambang pusing siang ini, badan capek, membawa barang banyak dan ketika sudah jalan, macet dan macet lagi. Bambang berteriak sekeras-kerasnya dalam hati, dongkol, marah, semua menjadi satu. Jam delapan malam, Bambang harus sudah sampai di diskotek tempatnya bekerja bila tidak maka gajinya akan dipotong Rp 2.000,- per menitnya. Kenapa sekarang pengguna jalan di Jakarta semakin terasa mengjengkelkan bagi Bambang.

Dengan cekatan Bambang memasang piringan hitam dan memainkan turn table. Beat musik dia naikkan. Wajah-wajah cantik setengah telanjang di depannya terus menggoda dengan gerakan gemulai nan seksi seolah berkata, "Dekaplah aku sayang, ledakkan aku, lepaskan semua suasana hatimu...". Braaak...!!! Suara lemparan nampan ke meja telah memudarkan semua lamunan Bambang. Ah, seandainya aku jadi DJ pasti sangat menyenangkan, pikir Bambang. Tapi tak mengapa, pekerjaan mereka sama kalaupun ada perbedaan itu pun hanya tipis. DJ muter piringan hitam sedangkan Bambang muter piring beneran alias tukang cuci piring. Yang penting bekerja dulu karena tidak mungkin Bambang hidup di Jakarta menganggur. Tempat kerjanya juga lumayan hebat, tempat hiburan terbesar di Jakarta. Satu hal yang sebenarnya menjadi rahasia Bambang kenapa dia selalu bersemangat menjalankan pekerjaannya adalah wajah-wajah cantik dengan penampilan super seksi yang tidak akan mungkin dia temukan di kampungnya, Wonogiri.

Nasi uduk tambah tempe dua menjadi menu kebiasaan Bambang untuk sarapan pagi. Bukan karena rasanya tapi harganya yang goceng menjadi alasan utama mengapa dia masuk dalam kelompok manusia penggemar nasi uduk. Bambang harus berhemat, berkali-kali dia lafalkan dalam hati kalau tujuan dia ke Jakarta buat mencari uang bukan untuk bersenang-senang. Dia punya mimpi bila nanti pulang kampung harus sudah bisa membeli motor Honda Grand sendiri, kemudian membantu orang tuanya memperbaiki rumah, dan membeli sapi sebagai tabungan untuk melamar Rum, kelak. Meski berat dan penuh perjuangan untuk bertahan di dalamnya, Jakarta telah menawarkan setumpuk impian yang terlalu indah untuk di lewatkan Bambang. Lebaran besok Bambang harus sudah bisa mengajak Rum jalan-jalan ke waduk Gajah Mungkur dengan motor grand barunya. Bapaknya Rum pasti akan segera menyuruh mereka menikah dan Bambang akan mengajak Rum ke Jakarta untuk bekerja bahu-membahu mencari uang. Satu impian Bambang semakin mendekati kenyataan tanpa dia tahu sebenarnya kalau orang-orang sepertinya berkali-kali sudah di tuduh sebagai biang kemacetan Jakarta, sebagai penambah sesak Jakarta, sumber kesemerawutan Jakarta, penyebab masalah sosial Jakarta. Tapi haruskah Bambang pulang kampung, di daerahnya tidak ada pabrik, tidak ada hotel, tidak ada kantor, tidak ada tempat yang menyediakan lapangan pekerjaan sebanyak di Jakarta. Tidak bolehkan Bambang merubah nasibnya, dia hanya ingin menghidupi impian sederhananya. Bukankah demi mimpi, banyak orang dari berbagai penjuru daerah di Indonesia datang ke Jakarta dan rela menanggung semua hal yang tidak enak dari Jakarta.

Tidak ada lagi pengeluaran untuk naik metromini karena sekarang kost Bambang dekat dengan tempatnya bekerja. Jalan kaki membelah keramaian stasiun Kota sebagai jalan pintas. Gerbong yang penuh sesak dengan berbagai raut muka yang berkejaran dengan waktu, berkutat dengan himpitan, kemacetan, kebisingan serta polusi udara. Sungguh ini menjadi ujian mental mereka yang mencari nafkah di Jakarta. Mungkin sebagian dari mereka merasakan kalau tempat bekerja kerap menjadi "padang Kurusetra". Berbagai macam karakter orang harus mereka hadapi, mulai dari pegawai yang suka cari muka, masa bodoh, suka mencuri, sok pintar, genit , baik hati tapi suka dimanfaatkan untuk disuruh-suruh. Kehidupan Jakarta terasa serba cepat, pulang kerja-tidur-berangkat kerja. Semua serba dinamis dan bisa menjadi stres tersendiri bagi para pekerja. Bambang sadar betul akan hal itu, dia memahami bagaimana menikmati semua tantangan tersebut dengan gaya hidupnya yang ndeso dengan impian ndeso pula yang tidak muluk-muluk. Target, deadline, omset, closing, prepare. Istilah-istilah ini sekarang begitu akrab di telinga Bambang yang mencoba untuk tetap sehat di lingkungan yang tampak kian tak sehat.

Bambang meneguk pelan-pelan kopi yang dihidangkan Ibu kost yang sering dipanggil dengan sebutan nenek. Nenek yang asli Betawi itu sangat baik, dia wanita yang berumur kira-kira 80-an tahun dan berprofesi sebagai tukang pijat. Bahkan tak segan dia sering memijiti Bambang di waktu senggangnya sambil bercerita kejayaan masa lalunya sebagai pejuang kemerdekaan di Batavia. Bagaimana dia menjadi tim kesehatan bagi para pejuang di garis depan yang terluka bahkan sewaktu kecil dulu dia pernah diajak kakeknya ke negeri Belanda dan bersalaman dengan Ratu Juliana, entah benar atau tidak, Bambang menganggap itu bukan hal penting yang harus diperdebatkan kebenarannya. Ceritanya yang heroik tidak lantas membuat dia menjadi anggota Legiun Veteran dan mungkin masih banyak pejuang-pejuang dulu di Jakarta yang masih hidup tidak tercatat sebagai anggota veteran perang. Walau sudah berusia senja, Nenek masih kuat dan hampir tidak pernah mengeluh sakit. Sebenarnya kost di daerah Sawah Besar ini sangat jauh dari kata layak, kamar 2 X 1.5 meter, tangga sempit, 3 lantai, hampir semua terbuat dari papan kayu yang sangat mudah sekali terbakar. Pernah terucap kepada Bambang kalau Nenek ingin menjodohkan Bambang dengan cucunya, Imeh.

Nama aslinya Fatimah, dia masih duduk di bangku kelas 3 SMU. Cantik bahkan sangat cantik bila Bambang harus membandingkannya dengan gadis-gadis kampungnya apalagi dengan Rum, pacarnya. Tapi Bambang tidak mungkin meninggalkan Rum yang dulu menangis tersedu di terminal mengantar keberangkatannya ke Jakarta. Terlalu banyak kenangan manisnya di kampung bersama Rum yang tidak mungkin terganti oleh apapun. Menyusuri pematang sawah.  Alun-alun Wonogiri. SMS cinta. Gigitan nyamuk di bawah pohon Lamtoro. Karena semua itulah Bambang bisa bertahan dengan seluruh keadaannya sekarang di Jakarta. Nenek sengaja memilih Bambang di antara tujuh lelaki bujangan yang kost di tempatnya. Kata nenek karena Bambang orang Jawa. Kebetulan dari ketujuh bujangan tadi hanya Bambang sendiri yang dari Jawa. Masih kata Nenek, lelaki Jawa itu tanggung jawab dan setia. Mereka tidak royal di perantauan, selalu memikirkan tabungan untuk hari depan dan mau hidup apa adanya. Nenek terlalu subyektif. Bambang jadi teringat bagaimana dia sering di olok-olok temannya setiap kali ke kantin, "Dasar Jawir, makan nasi sayur ma tempe doang bisa. Nikmatin hidup dong, besok makan apa piker besok yang penting hari ini makan enak. Duit bisa dicari kagak bakal dibawa mati. Emang dasar ni Jawir, ngumpul sono no orang Padang ma Cina. Cocok...!!". Ah, mereka juga terlalu subyektif. Tapi inilah kenyataan hidup di Jakarta yang harus dinikmati Bambang.

Tiit...!!! Bambang mematikan HP-nya. Ajakkan Bowo, teman kerjanya, untuk nongkrong di Lokasari tidak dia balas. Jalan-jalan malam sepanjang Hayamwuruk-Gajahmada sampai Harmoni memang sangat menyenangkan, banyak jablai-jablai manis disana. Itu yang ditawarkan Bowo melalui pesan pendek. Bambang merasa tidak perlu kehidupan gemerlap seperti itu, dia rela dibilang udik. Kamar kost sudah cukup baginya untuk dijadikan tempat "nongkrong" pelepas segala kepenatan. Ruang sempit itu telah menyediakan bermacam pelepas penat, mulai dari tidur sampai ber-fantasi jorok sekalipun bebas dilakukan disana. Bersantai seusai beraktifitas seharian sekaligus menunggu waktu untuk kembali bekerja. Dari sekedar minum kopi, merokok atau beramah tamah dengan Nenek. Tidak hanya sekali, Bambang sering digoda tamu-tamu wanita yang ingin menginap di kost-nya karena rata-rata mereka berasal dari jauh seperti Karawang, Indramayu, Sukabumi, Lampung, Lamongan dan daerah-daerah lainnya. Seperti halnya Bambang, para wanita-wanita cantik ini datang dari jauh menuju Jakarta hanya demi satu keinginan yakni "menghidupkan" mimpi. Mereka tidak menyewa kamar kost. Mereka hanya mengandalkan kedekatannya dengan karyawan untuk bisa ikut tinggal di kost tanpa perlu membayar, sebuah hubungan yang saling menguntungkan bagi mereka yang suka berpetualang ke puncak asmara.

Walaupun baru kenal Bambang langsung akrab dengan Bowo seperti sudah kenal lama sebelumnya. Bukan tanpa sebab tentunya, Bambang asli dari Purwantoro sedangkan Bowo dari Paranggupito, sama-sama daerah Wonogiri. Tetangga kalau mereka bilang pada orang lain. Jangankan hanya Purwantoro-Paranggupito, lha wong Wonogiri-Boyolali saja mereka bilang tetangga juga kalau ketemu di Jakarta. Ya, para perantau yang merasa mempunyai nasib sepenanggungan, seperti saudara karena persamaan suku. Kemarin, Bambang menerima SMS dari Paklik-nya yang meminta tolong guna mencarikan informasi lowongan di tempatnya bekerja karena anaknya sebulan lagi lulus SMA. Dia belum bisa menjawab. Sebegitu berat dan penat kehidupan Jakarta. Namun, pendatang baru yang mencoba peruntungan dan kesempatan tidak pernah berkurang. Mereka yang ingin sukses dan bisa menikmati "kekayaan" Jakarta dengan gaya tersendiri.

Kerja di diskotek. "Kamu kan bekerja mengeluarkan keringat. Bukan kamu yang menjual minuman, bukan kamu pula yang minum, lagian kamu disana hanya mencuci piring jadi penghasilan kamu pasti halal 100%..!!", kata hati Bambang ketika mendapati dirinya diam termenung.

"Cuci piring sih cuci piring tapi mata kamu yang kemana-mana, selalu terpana melihat buah dada tamu wanita yang mabuk, suka mencuri-curi waktu tuk melihat erotic dance. Gaji kamu dari hasil penjualan miras, haram hukumnya..!!", bisik hatinya lagi.

"Walau hanya cuci piring penghasilanmu lumayan daripada kamu jadi buruh pabrik. Lihat mereka para pejabat yang suka naik mobil mewah lewat jalur busway. Mereka yang di Senayan, berpendidikan tinggi, kerja di lingkungan baik-baik, ada yang sudah haji lima kali dan sering dakwah tapi nyatanya haram juga penghasilannya karena korupsi. Kamu tidak mungkin bisa korupsi, kamu tidak pernah meminta apalagi mencuri, merekalah yang memberi sendiri dengan ikhlas uang tips kepadamu. Kamu kerja keras. Sudahlah, nikmati hasil peluhmu. Kamu lebih mulia dibanding mereka, uang kamu halal..!!, masih saja perdebatan hati Bambang belum usai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun