Mohon tunggu...
Efendi Muhayar
Efendi Muhayar Mohon Tunggu... Penulis - Laki-laki dengan pekerjaan sebagai ASN dan memiliki hobby menulis artikel

S-2, ASN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pantaskah Indonesia Menjadi Negara Gagal?

12 Agustus 2020   23:05 Diperbarui: 12 Agustus 2020   23:25 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Efendi, S.Sos., M.AP / Analis Kebijakan Setjen DPR RI

Peningkatan jumlah masyarakat miskin akibat pandemic sebenarnya sudah diprediksi. Pada bulan Maret 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan  penduduk miskin Indonesia mencapai 26,42 jiwa, naik 1,63 juta jiwa dari kondisi pada bulan September 2019. Meski masih pada kisaran di bawah dua digit, tingkat kemiskinan sudah berada pada kisaran 9,78% dari total populasi penduduk Indonesia. 

Jika BPS di bulan Juli 2020 ini kembali melakukan pendataan, maka kemungkinan jumlah penduduk miskin akan jauh lebih besar. Makin meningkatnya penduduk miskin juga sudah  di warning oleh Bank Dunia, dan lembaga  ini  memperkirakan peningkatan jumlah penduduk miskin Indonesia sudah mencapai 34 jiwa. 

Pandemik ini juga menyebabkan terjadinya ketimpangan antar kelas ekonomi yang makin  mendalam. Hal ini didasarkan pada hasil laporan BPS pada Maret 2020, yang menyatakan bahwa rasio gini telah mencapai 0.381 atau naik 0,001 poin jika dibanding pada bulan September 2019. Rasio gini yang mendekati angka 1 menunjukkan ketimpangan semakin  lebar, karena jika ketimpangan semakin lebar maka upaya pengentasan kemiskinan akan semakin sulit.

Dalam kondisi pandemik yang dialami Indonesia serta pengaruhnya terhadap kemiskinan dan kesenjangan ekonomi  merupakan kenyataan yang terjadi saat ini. Namun jika tanpa pandemic pun Indonesia memang memang berada dalam masalah kesenjangan. 

Dalam konteks negara dan hubungannya dengan ekonomi negara lain, maka timbul pertanyaaan tentang  apakah yang menyebabkan kesenjangan antara negara miskin dan kaya begitu menganga? Mungkin kita bisa menjawab karena faktor budaya, letak geografis, atau perbedaan iklim.

Namun  ternyata hal  tersebut dibantah oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson yang ditulis dalam sebuah buku yang berjudul  Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012). Di Indonesia, buku tersebut terbit pada 2019 dengan judul Mengapa Negara Gagal: Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan. 

Dalam bukunya,  Acemoglu dan dan Robinson, menegaskan bahwa faktor budaya, letak geografis, atau perbedaan iklim tidak ada sangkut-pautnya dengan kesenjangan yang terjadi di negara kaya dan miskin seperti ada mitos antara utara yang lebih kaya dan selatan yang lebih miskin. Kemudian, faktor kemiskinan karena budaya yang dijelaskan dalam  teori culture of poverty dari kalangan antropolog, serta elit yang malas (tuduhan penjajah terhadap bangsa yang dijajah).

Keduanya (Acemoglu  dan Robinson) menjelaskan  dengan cukup berani bahwa nstitusi politik-ekonomi suatu negaralah yang menjadi penentu. Negara yang nstitusi politik-ekonominya bersifat inklusif (terbuka dan demokratis), cenderung berpotensi untuk menjadi negara kaya. Sementara itu, negara yang institusi politik-ekonominya bersifat ekstraktif (tertutup dan pengelolaan ekonominya dipenuhi pemburu rente), ditandai dengan maraknya pemburu rente karena regulasi yang tidak berkeadilan, pasar yang  terdistorsi, dan elite yang otoriter.

Selain itu, monolitisme (anti demokrasi, tidak ada ruang perbedaan pandangan  politik serta kontrol terhadap parpol), tidak adanya akses terbuka bagi pelaku UMKM terhadap sumber-kemajuan seperti perbankan, teknologi, dan tata ruang dan lain-lain. Negara dengan nstitusi politik-ekonominya bersifat ekstraktif cenderung tinggal menunggu waktu saja untuk terseret ke dalam jurang kemiskinan, instabilitas politik, dan mengarah menjadi negara gagal.

Tapi, benarkah sesederhana itu akar penyebabnya? Ternyata tidak. Berdasarkan hasil penelitian mendalam selama 15 tahun, Acemoglu dan Robinson berupaya mengurai dan memaparkan semua kerumitan itu dengan mengumpulkan berbagai bukti sejarah: mulai dari penyebab runtuhnya Kekaisaran Romawi, peradaban Maya yang perlahan hilang ditelan zaman, pudarnya kejayaan Venesia, kolapsnya negara adidaya Uni Soviet, kolonisasi Amerika Latin oleh penjajah Spanyol yang membentuk berbagai pranata ekonomi yang menyengsarakan rakyatnya hingga kini, sampai ke tumbuh dan berkembangnya negara-negara kaya seperti nggris, Amerika Serikat, dan Afrika. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun