Mohon tunggu...
Efendi Muhayar
Efendi Muhayar Mohon Tunggu... Penulis - Laki-laki dengan pekerjaan sebagai ASN dan memiliki hobby menulis artikel

S-2, ASN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Soal Pemakzulan di Era Demokrasi

3 Juni 2020   09:30 Diperbarui: 3 Juni 2020   09:41 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Efendi Muhayar (Analis Kebijakan Setjen DPR RI)

Selasa  2 Juni 2020, harian Kompas menulis dalam tajuk rencana yang berjudul ‘’Menjaga Kebebasan Sipil’’. Pada bagian paragraph kedua, Kompas memaparkan  tentang momentum hari lahir Pancasila dan pandemik mulai muncul  upaya menggerogoti aspek kebebasan sipil, yakni kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan kebabasan akademik. 

Kritik dalam penanganan pandemik memang memunculkan kritik kepada pemerintah. Kritik terhadap kebijakan pemerintah  adalah wajar dalam kehidupan demokrasi, dan kritik adalah oksigen dalam demokrasi karena tanpa ada kritik pemerintah tidak akan bisa mengukur sejauh mana program yang direncanakan telah dirasakan masyarakat. Begitulahkira-kira kalimat yang disampaikan  harian Kompas tersebut.

Pada waktu yang sama, Koran Tempo juga  menulis tentang kecaman Kementerian Pendidikan atas teror terhadap diskusi di UGM. Pada lembar yang sama, Tempo juga menampilkan  berbagai kasus intimidasi yang pernah terjadi di berbagai kampus sejak Desember 2014 sampai akhir  Oktober 2019.

Memang faktanya, bila dilihat dari konstitusi  ketetanegaraan kita, kebebasan berpendapat baik secara lisan ataupun tulisan merupakan  hak setiap orang  dan mendapat jaminan, khususnya  pada Pasal  28E ayat (3), dimana kebebasan untuk menyampaikan pikiran dan hati nurani  tidak bisa dibatasi dalam keadaan apapun. 

Lalu pertanyanannya adalah,  mengapa masalah  kebebasan perpendapat kemudian dipersoalkan sementara  sudah  ada jaminan melalui konstitusi ?. Pertanyaan  kedua, ada wacana mengenai pemakzulkan atau pemberhentian presiden. Kemudian pertanyaan ketiga tentang    mengapa kita mempersoalkan  soal kebebasan berpendapat ?.

Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, tentunya kita  bisa melihat pada kondisi bangsa saat ini, dimana beberapa waktu lalu kita mendapatkan kenyataan bahwa Pemerintah bersama DPR telah melahirkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Organisasi Masyarakat (Ormas) yang oleh  banyak kalangan dinilai sebagai Perpu yang  sangat anti demokrasi,  namun tidak banyak orang yang memprotes karena lebih banyak orang yang mengikuti pendapat pemerintah, sehingga yang terjadi adalah kekuasaan mayoritas yang mengamini Perpu tersebut, bahkan dari beberapa kalangan akademisi pun ikut mengaminkan Perpu ini. 

Padahal persoalan besar dari Perpu ini adalah menjadikan Ormas sangat lemah. Kemudian, kita juga mengetahui teradapat  ketentuan mengenai  ambang batas parlemen (parliamentary threshold-PT). Dengan ketetapan ambang batas ini membuat masyarakat menjadi bingung karena sikap Mahkamah Konstitusi (MK) yang tetap  mempertahankan presidential threshold ketika pemilu itu sudah serentak dan ketika ada peserta pemilu baru yang kehilangan hak konstitusionalnya. 

Terlepas mereka tidak menggunakannya, tetapi faktanya partai baru itu ada, misalnya PSI,, Perindo, Partai Garuda dan Partai Berkarya, yang secara jelas kehilangan konstitusional standingnya untuk  mencalonkan presiden dan wakil presiden. Kondisi seperti ini sebenarnya sudah cukup beralasan untuk mengatakan bahwa president threshold adalah bertentangan dengan konstitusi karena menghilangkan hak  konstitusional  (hak yang sudah diberikan konstitusi), tetapi  masalah treshhold tetap saja lolos di DPR  dan lolos juga di MK. 

Masalah lain yang juga patut dicatat misalnya mengenai  masalah kesulitan ekonomi dimana masyarakat sulit untuk hidup terutama saat pandemik covid-19 dan rencana pemerintah untuk memberlakukan new normal. Rencana kebijakan Pemerintah ini banyak dikritik masyarakat karena  pemberlakuan new normal  dianggap oleh masyarakat sebagai  wujud ketidakmampuan atau ketidakpercayaan pemerintah  untuk mempu mengatasi pandemik covid-19.  Sementara di banyak negara,  mereka memberlakukan new normal  setelah berhasil mengatasi pandemic covid-19 paling tidak untuk sementara. Tetapi soal penanganan pandemic covid-19 di Indonesia belum ada kejelasan soal apakah  kita dianggap berhasil dan kemudian  menuju ke fase  new normal ?.  Inilah sebetulnya persoalan lain yang terjadi saat ini.

Sementara itu, persoalan politik berkaitan dengan masalah oligarki politik yang luar biasa, dimana kekuasaan politik formal sangat consolidated sehingga suara-suara yang rasional dan jujur sulit untuk mendapatkan  tempat.   Belum lagi massifnya peran buzzer dalam membela kepentingan tertentu, sehingga tidaklah mengherankan, banyak pengamat dan pakar menjadi sasaran tembak ‘untuk diserang’ oleh para buzzer.  Sehingga dalam  kondisi sekarang ini, dapat kita katakan bahwa  telah terjadi regresivitas nilai-nilai demokratis, dimana nilai-nilai demokrasi  sudah berkurang sangat jauh bila dibandingkan awal-awal tahun  1998, karena sama-sama kita  tahu bahwa perjuangan reformasi tahun 1998 dengan  menumbangkan rezim otoritariter  adalah salah  satu rezim yang menghalangi kebebasan berpendapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun