Mohon tunggu...
Yulius Efendi
Yulius Efendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sedang Menjalankan Studi

Laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kepala Sekolah yang Humanistik

2 Agustus 2020   22:39 Diperbarui: 2 Agustus 2020   22:58 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dengan demikian, imajinasi moral, secara eksplisit membuka langkah strategis pendekatan seorang pemimpin pendidikan pada; tindakan memberi makna dan arah untuk kehidupan semua komponen sekolah (Baumeister, 1991). 

Pemimpin memiliki kewajiban moral untuk menjalani kehidupan manusia dan melindungi manusia (Veugelers, 2008; Pirson & Amann, 2010). Dipertegas pula oleh Werhane (2002, 2008); Waddock (2016); Dierksmeier (2016); Mel (2016), bahwa aspek-aspek pendekatan humanistik yang perlu dikembangkan di lingkungan pendidikan, mencakup; penghargaan dan pengakuan tanpa syarat terhadap nilai-nilai martabat manusia semua komponen sekolah, refleksi etis yang diintegrasikan ke dalam pengambilan keputusan, legitimasi normatif untuk melakukan tindakan dan keputusan dalam organisasi pendidikan; sekolah tidak hanya menargetkan prestasi akademik, tetapi juga mempertimbangkan nilai karakter manusia, keberadaan transparansi, kebenaran, dan komunikasi humanistik, melalui kesamaan kata dan tindakan. Komponen-komponen ini merupakan bagian integral dari imajinasi moral.  

Penekanan pada imajinasi moral, dipahami sebagai model pendekatan yang memahami anggota organisasi sebagai pribadi manusia; yang menjelaskan, merefleksikan, dan menghargai subjektivitas, relasionalitas, individualitas, dan kepribadian anggota; yang bertindak sehubungan dengan penentuan nasib sendiri dan martabat manusia orang-orang ini; dan yang bertujuan untuk membangun komunitas yang konstruktif dari orang-orang dan pada pertumbuhan manusia (yang berarti kesejahteraan, aktualisasi diri dan transendensi-diri anggota organisasi) sebagai tujuan itu sendiri (Giustiniani, 1985).

Berdasarkan pemikiran yang ada, dapat dikatakan bahwa pendekatan humanistik bermakna karena mengabaikan pemimpin-sentralisme dan pendewaan-pemimpin dan mengutamakan etika kemanusiaan (Waddock, 2016). Dengan menempatkan manusia sebagai pusat penelitian kepemimpinan, penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang jauh lebih berarti bagi kepemimpinan dalam praktik, dan membantu organisasi pendidikan dalam mewujudkan potensi manusia dan meningkatkan modal sosial dalam membangun kepercayaan, integritas, harmoni, dan moralitas dalam diri pengikut.

Pendekatan Humanistik Kepala Sekolah 

 Indonesia pasca reformasi telah mengalami krisis multidimensi, khususnya keterpurukan moral pada sektor ekonomi, politik, dan pendidikan (Kasali, 2017). Konflik moral menimbulkan penyimpangan moral di kalangan siswa di Indonesia, seperti; sikap intoleran, perkelahian antara pelajar, narkoba, pergaulan bebas, menyontek, mencuri, bolos, berpakaian tidak sopan, tidak beretika dalam berbicara, memudarnya nilai-nilai  budaya  bangsa (Koesoema, 2010; Endah,  2012; Kemendikbud, 2016). Kemerosotan moral di kalangan siswa, dapat saja menimbulkan penilaian bahwa sekolah, orang tua, masyarakat telah gagal memersiapkan generasi muda masa depan bangsa. Menanggapi fakta ini, sekolah perlu proaktif bermetamorfosis untuk mengubah paradigma baru arah dan tujuan pendidikan, yaitu pada pembentukan pengetahuan dan karakter siswa. Tanggungjawab sekolah dalam hal ini, mengoptimalkan program penguatan pendidikan karakter sejalan dengan tuntutan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 87 tahun 2017, tentang Penguatan Pendidikan Karakter, bab I, pasal 1, yang menegaskan bahwa "program penguatan pendidikan karakter adalah kegiatan pedagogis yang menyatukan hati, perasaan, pikiran, dan tubuh dan dilaksanakan melalui kerjasama antara komponen internal sekolah, orang tua, dan masyarakat sejalan dengan dorongan untuk membentuk mental melalui Gerakan Revolusi Mental Nasional".

Peraturan Pemerintah ini perlu diimplementasikan di sekolah melalui koordinasi intensif dengan semua komponen sekolah, termasuk peran kepala sekolah. Peran kepala sekolah di Indonesia sudah lama mengalami kemunduran, sehingga dapat mengancam eksistensi, keberlangsungan, daya saing, dan kemajuan mutu pendidikan ((Wahjosumidjo, 1992; Mutrofin, 2007). Kenyataan ini jelas melahirkan stigma negatif terhadap peran kepala sekolah. Stigma negatif peran kepala sekolah rasanya tidak perlu direspon secara reaktif karena mungkin saja stigma tersebut memang mencerminkan kebenaran substansi peran kepala sekolah.  Respon terbaik adalah melakukan pembenahan, penggodokan dan pengubahan model pendekatan kepala sekolah. Perubahan yang dimaksud adalah merevisi pendekatan konvensional menjadi pendekatan humanistik, untuk memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki oleh lembaga pendidikan menjadi kekuatan yang handal dalam mengawal, menghantarkan dan mewujudkan keberhasilan dan kemajuan mutu lembaga pendidikan.

Kontribusi kepala sekolah sebagai kunci keberhasilan, ditunjukkan dalam empat elemen kunci dari kerangka kerja pendekatan humanistik, yaitu; keyakinan akan kemajuan (kapasitas manusia untuk kemajuan dan perbaikan); alasan (mencakup pengetahuan, pembelajaran, dan keyakinan yang dibenarkan); inklusivitas (penerimaan universal ke dalam dialog dengan semua orang yang mampu bernalar); dan fokus pada individualisme (gagasan bahwa setiap orang secara inheren berharga, terlepas dari identitas kolektif yang ditentukan oleh suku, agama, ras dan golongan (Nida-Rmelin, 2009).

Dalam konteks penguatan pendidikan karakter, menurut Cowan (2007); Aloni (2011); Zain (2015); Koesoema (2016); Colbert & Kurucz (2018), pendekatan humanistik kepala sekolah diterapkan agar; 1) organisasi yang disusun dengan baik agar tetap relevan dengan kepentingan anggota disamping kepentingan kemajuan organisasi secara keseluruhan; 2) merancang program penguatan pendidikan karakter yang mencakup; (a) kegiatan pengembangan diri; (b) kegiatan pembelajaran berkarakter melalui penetapan kebijakan bersama berkaitan dengan penetapan standar nilai-nilai inti karakter sekolah, mendesain perangkat pembelajaran, menerapkan model pembelajaran berkarakter, dan penilaian pembelajaran berkarakter; (c) kegiatan di lingkungan sekolah, dan (d) kegiatan di lingkungan masyarakat; 3) interaksi yang akrab dan harmonis antara pimpinan dan anggota untuk menggalang persatuan dan kesatuan serta hidup damai bersama-sama; 4) membangun kerekanan kerja, dengan cara; menghindari kondisi kerja yang bersifat menekan, dengan mengkondisikan situasi kerja yang membangun kepercayaan diri; menghindari kebiasaan banyak bicara, tetapi dibuktikan dengan kemampuan kerja profesional; mengurangi kebiasaan marah, cemburu, dan iri hati, sebaliknya memberi motivasi agar kerja para guru lebih efektif; menghindarkan diri dari kebiasaan menyalahkan guru, tetapi harus mampu membetulkan (mengoreksi) kesalahan guru dan menghindarkan diri agar tidak menyebabkan pekerjaan guru menjadi membosankan, tetapi sebaliknya justru harus mampu membuat suasana kerja yang membuat guru tertarik dan betah melakukan pekerjaannya berdasarkan sistem nilai yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah bersedia, tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah; 5) membangun kemitraan sekolah dengan pemerintah dan masyarakat melalui program habituasi dalam pengkondisian lingkungan sekolah yang berkarakter. Dalam hal ini kontribusi kepala sekolah dalam jalinan kemitraan, akan mengubah sekolah sebagai lingkungan persemaian nilai-nilai kebajikan, tempat bertumbuh dan mengakarnya keunggulan nilai moral dan kecerdasan iman serta pikiran (saling menghormati, etika bajikan, keteraturan diri, dan kesesuaian kata dan tindakan ) dapat terwujud. 6) memperhatikan hati nurani anggota dengan segenap harapan, kebutuhan, dan kemampuannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun