Mohon tunggu...
Yulius Efendi
Yulius Efendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sedang Menjalankan Studi

Laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dinasti Politik Vs Demokrasi

1 Agustus 2020   14:11 Diperbarui: 1 Agustus 2020   14:26 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemikiran brilian Jack Snyder (2000), dalam racikan pemikiran From Voting to Violence: demokratization and Nationalist Conflic menafikan bahwa konflik dalam pelbagai dimensi yang telah dimulai sejak dasawarsa 1990-an rata-rata terjadi di negara yang baru mengalami kebebasan (politik, hak-hak sipil dan pers). Mungkin juga suatu kebetulan, gambaran ini diakui kebenarannya dalam cermatan perhelatan pilkada 2020 yang bakal meraimakan panggung perpolitikkan Indonesia.

Francis Fukuyama mengakui bahwa kebebasan yang mencirikan lahirnya demokrasi merupakan wacana paling mutakhir dari upaya pencarian manusia atas bentuk pemerintahan universal.  

Dalam bukunya, The End of History and The Last Man (1992) mentesiskan bahwa modal politik sebuah negara dan sikap kepercayaan warga negara kepada pemerintahnya (demokratis) merupakan faktor terpenting yang menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah negara dalam membangun kesejahteraan bangsa. Pengukuhan etimologisnya ada pada keterlibatan bersama antara kaum elit politik bersama rakyatnya.

Bangsa Indonesia boleh dibilang masih belajar dan sedang dalam perjalanan melakukan pencarian esensi demokrasi. Dapat pula diterangkan bahwa, saat ini Indonesia berada dalam masa-masa transisi menuju demokratisasi. Transisi menuju demokratisasi di mana pun merupakan masa-masa kritis. 

Sebab, ketika tahap pertama ideologi demokrasi diterima suatu masyarakat, tidak secara otomatis dikulturkan dan dipraktekkan secara sempurna. Dengan kalimat lain, ideologi demokrasi dalam sistem politik apa pun dan bagaimanapun tetap memerlukan proses sosialisasi, pembudayaan dan pengamalan.

Atas dasar ini, "politik dinasti" yang kini ramai dibicarakan di ruang publik bisa memunculkan spekulasi yang membingungkan. Mengapa tidak, "dinasti politik" dapat saja menerangkan bahwa hanyalah alat dan cara bukan tujuan, sehingga demokrasi dinomorduakan dalam tujuan. Tujuannnya adalah hasil (kemenangan) bukan proses (sistem demokrasi). 

Dinastik politik dalam kancah pilkada 2020 memungkinkan memiliki kebenaran, jika dicermati dalam konteks keinginan untuk menang dan berkuasa. Selain itu "dinasti pilitik" mengindikasikan bahwa pendidikan demokrasi belum merasuki cara berpikir dan bertindak para aktor. 

Pada tataran ini etika politik demokratis dapat saja belum menjiwai nurani para aktor. Bukankah langkah kompromi, negosiasi, cow trading (tidak termasuk money politics), power sharing  atau apa pun namanya, merupakan bagian penting proses dan esensi demokrasi?.

Pengakuan sebagai pelaku keutamaan (orang bijaksana) sering bersembunyi di balik keutamaan dan kebijaksanaan itu. Ia bisa memberi kebijaksanaan dan keutamaan sebagai tujuan, tetapi tidak bisa memberikan dirinya. 

Politik yang berlandaskan pada prinsip ini akan bersifat filantropik. Sebab tak seorang pun dapat melampaui karakternya sendiri. Karakter memungkinkan terciptanya kepercayaan, dan kepercayaan memungkinkan terciptanya kepemimpinan. 

Untuk membangun kepercayaan, seorang ca;on pemimpin harus memberikan teladan dalam hal kemampuan, koneksi, serta karakter. Pemerintah (politikus) akan memberikan bantuan materi dan panduan strategis sebanyak-banyaknya. Masyarakat senang dan berterimakasih kepada mereka. 

Tetapi di sini tidak ada komunikasi, tidak ada solidaritas dan "tebusan" untuk orang lain. Pada hal untuk "menebus" orang lain, melampaui keutamaan dan kebijaksanaan apa pun.  Pemikiran yang melampaui ambang batas ketidaksadaran, dan keinginan akan kemenangan dan jabatan, cenderung memperdebatkan perbedaan pendapat, kalah menang dalam pemungutan suara (voting), bahkan pembelotan (pembangkangan) kepartaian atas nama argumentasi rasional, bukan merupakan hal biasa dalam berdemokrasi.

Boleh jadi "dinasti politik" bukan merupakan Part of the solution (bagian dari pemecahan masalah) yang dialami bangsa selama ini, tetapi sebaliknya menjadikan figur dan  partai sebagai part of the Problem (bagian dari masalah). 

Tujuan utama reformasi politik adalah kesadaran akan tangung jawab dan sarana penebusan untuk orang lain. Itu berarti politik bukan saja sekedar sebuah ambisi dan keinginan  sesaat. Politik adalah sebuah aktivitas yang bersumber pada kedalaman jiwa. Karena itu politik tidak hanya berlandaskan keinginan untuk menang, menduduki jabatan dan kekuasaan, tetapi didasarkan pula pada pemikiran yang visioner untuk kesejahteraan rakyat yang akan dipimipinnya. 

Politik tidak tumbuh dari dorongan untuk "mendapat" atau dibakar oleh glora dukungan koncoisme, tetapi  lahir dari hati yang lapang yang mampu menampung pluralitas kepentingan bangsa dan warga bangsanya. Reformasi politik harus dipakai sebagai sarana pemersatu untuk membangun kerja sama, dipakai untuk memilih pemimpin bangsa, bukan pendewaan pemimpin karena dukungan kelompok elite politik.  

Sebab satu-satunya cara untuk menjadi seorang pemimpin yang tak tergantikan untuk dikenang masyarakatnya adalah dengan menjadikan diri sebagai pemimpin yang dapat digantikan kapan saja jika tidak mensejahterakan rakyatnya.

          Buktinya, Hiruk pikuk pertarungan pilkada 2020 telah membuka mata publik betapa degradasi etika politik kita sudah sampai pada tahapan belum ada bentuk dalam sistem demokrasi yang sesungguhnya. 

Padahal, Republik ini terus bermimpi untuk memiliki sosok pemimpin yang kredibel dan mengerti betul keadaan bangsa ini. Dalam tataran ini, kredibilitas itu sendiri jelas tidak dapat dibangun melalui legitimasi semata-mata, tetapi harus didukung oleh integritas pemimpin yang kredibel dan jujur. 

Menanggapi berbagai term termasuk term "dinasti politik" yang turut menghiasi format pilkada 2020, komunikasi dan pendidikan etika politik sangat perlu guna memelihara sikap dan tingkah laku kehati-hatian, sehingga tidak mudah terjerus dalam kubangan dinasti kekuasaan. Sebab bila ini terjadi, segenap warga bangsa akan kehilangan momentum untuk mengenyam demokrasi yang sesungguhnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun