Mohon tunggu...
W. Efect
W. Efect Mohon Tunggu... Penulis - Berusaha untuk menjadi penulis profesional

if you want to know what you want, you have to know what you think

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepanjang Jalan Kenangan

6 April 2020   03:21 Diperbarui: 6 April 2020   06:11 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tidak mengerti, pada hari itu ada perjumpaan yang tentu akan berlanjut, bagaimana tidak wajah Arum ada disampingku setiap hari. Ia memang bukan Arum sebagaimana dulu pernah menjadi pacarku. Wajahnya saja yang mirip, hal yang justru membuatku berdebar ketika kutanya siapa nama mananya ia jawab"Arumsari" ini sesuatu yang membuat hatiku jadi berdebar. Dalam hati kecilku benar-benar mengira kalau "Sisi" dari nama aslinya "Arumsasi" adalah anak Arum yang pernah aku kenal semasa kuliah dulu. Tapi apakah benar begitu ? Kalau kutanya Rumahnya juga berbeda, Arumsari bertempat tinggal di malang, sedangkan Arumsasi yang sekantor denganku bertempat tinggal di Solo bersama dengan orang tuanya.

Sebagai pegawai senior, aku sering diminta memberikan bimbingan singkat cara kerjanya, demikian pula ketika Sisi menjadi Pegawai baru, Pak Rudi atasanku meminta aku untuk mengajari cara bekerja, dengan begitu dalam beberapa hari, aku mendapatkan informasi cukup, kalau sisi adalah anak Arumsari temanku dulu, ia bercerita dengan tanpa rahasia darimana asal kedua orang tuanya. Sekalipun aku punya keyakinan, namun aku tidak serta merta mengatakan kalau mamanya adalah seseorang yang pernah dekat, ku biarkan saja biarlah waktu yang akan menjawabnya.

Aku sendiri sebenarnya merasa bingung, kenapa seusiaku yang menginjak lima puluh tahun ini belum juga mendapat pasangan hidup yang pas, banyak yang mengatakan kalau aku termasuk tipe orang yang tak mudah jatuh cinta, Apa memang benar pandangan temen-temenku itu, tapi memang sejak aku mengenal sisi saat kuliah dulu, aku sulit sekali mendapatkan temen intim, bukan berarti tidak ada usaha mencari atau tidak ada yang mau dekat, namun setiap mengenal wanita, ingatanku selalu saja tertuju pada sisi, aku juga tidak mengerti kenapa selalu saja begitu. Setiap saat sudah mencoba membuang jauh-jauh namun selalu saja terperangkap masuk kedalam ingatannya.

Pernah ada seorang wanita, tak kalah cantiknya dengan sisi, pertemanan kami sudah begitu akrab, bahkan sudah merencanakan tukar cincin, tapi juga gagal, rupanya wanita itu tidak tulus mencintai, ia lebih suka mencari tandingan masalah kekayaan, sehingga ketika ada orang lain yang lebih kaya dari ku ia langsung nempel kesana, menurutku lebih baik begitu memang, dari pada merepotkan di hari-hari mendatang. Pada waktu itu ada juga penyesalan namun dengan keterpaksaan aku iklaskan juga, dan ingatanku mulai memikirkan masa lalu, begitu susahnya hilang selalu saja menari-nari dalam pikiran.
***
Sudah dua hari aku tidak ngantor, panas disertai batuk menyerang badan, setelah berobat kedokter, sudah agak mending, sehingga pada hari ketiga sakitku, sudah dapat ngantor lagi.

Selama tidak ngantor urusan pekerjaan aku serahkan pada arum, sekaligus pengin tahu apakah sudah bisa melaksanakan pekerjaan di kantor atau masih perlu bimbingan lebih lanjut. Ternyata Arum sudah bisa menjalankan pekerjaan dengan baik sehingga tinggal arahan dikit dapat dilepas total.

Hari itu, hari senin, aku terlambat ngantor, padahal sudah menjadi program setiap hari senin ada upacara bendera. Disebrlah barat kantor aku menunggu sambil duduk disepeda motor. Di belakangku ada yang tetlambat juga dua orang wanita, aku sendiri tengah main hape membaca salah satu artikel. Beberapa saat kemudian kucoba melihat kebelakang melalui spion, hatiku berdebar, dua wanita yang berada di belskangku ternyata arum dan sisi, sebenarnya aku mencoba menengok ke belakang, namun Arum sendiri melangkah perlahan menemuiku.
"Pagi pk Hardi." Sapanya lembut. Aku mengulum senyum, niat ku ingin menjawan dapaan Arum, namun ia telah berkata lagi, "Aku bersama Mama." Akupun melangkah menuju tempat arum memarkirkan sepeda motornya.
Kulihat wajah rupawan pernah aku kenal dulu, ia tengah memejet tuts pada hapenya, begitu asyik, sehingga tidak perhatikan kalau aku dan Arum sudah berada disebelahnya.
Arum memperjenalkanky dengan Mamannya, kam beradu pandang, is tidak terkejut melihatku, wajahnya berkerut, seperti mengingat-ingat sesuatu.
"Hardi !" Tangannya menunjukku dan kamipun bersalaman. Aku  tersenyum. Untuk bebetapa saat kami saling pandang.
"Lo, Mama udah kenal sama pk Hardi!" Tanya Arum. Ia terjejut.
"Sepertinya begitu," Sisi segera nembetitahukan kalau aku tenan semasa kuliah dulu.
***
Arum sudah tahu banyak tentang aku terlebih hubunganku dimasa lalu. Mamanya banyak bercerita, segera saja apa yang disampaikan diceritakan. Akupun  jadi mengetahui kalau Papanya sudah meninggal lima tahun lalu akibat terkena serangan jantung. Setelah seribu hari papanya meninggal mereka pindah ke Solo mendekati Kampusnya.
Arum juga sempat cerita, sebulan lalu bersama Mamanya pindah ke Jogja mendekati tempat kerja. Ini menjadi pemikiran baru yang susah dihilangkan. "Apakah ini yang dinamakan jodoh ya?" Aku sempat membatin begitu, meski untuk memulainya kesulitan harus dari mana. Mungkin tidak juga, aku terlalu kepedean kali, bagaimana tidak ! Sewaktu berada di Malioboro, kulihat Sisi bersama seorang pria dan kelihatan begitu akrab.
Yah, mungkin, memang sudah menjadi nasib saya harus begini, akupun tidak pernah menanyakan pada Arum kalau pernah melihat Mamanya bersama seorang pria, aku tak berani bertanya begitu, menyinggung kehidupan Sisi di waktu lalu terasa susah ku katakan. Aku lebih banyak diam, bahkan Arum pernah  mengatakan, kalau aku menjadi seorang pendiam, sering melamun, itu juga yang sering dikatakan teman-temen lain dikantorku.
Ketika Arum bercerita tentang Mamanya, baru aku menanggapi, itupun hanya singkat-singkat jawabku kepadanya. Arum juga sering mempertemukan aku pada Mamanya, ini menjadi kelegaan tersendiri, dan aku merasa tersanjung juga. Harapanpun tak jarang muncul, disaat seperti itu hari-hari seperti terkuak kembali menelusur masa-masa dimana keakraban itu menjadi sebuah saksi yang susah dipisahkan satu dengan yang lainnya. Namun kalau ingat mamanya bersama seorang pria, harapan ini menjadi pupus kembali, apalagi Arum memberikan surat undangan yang ditaruh diatas meja kerjaku, kalau sebulan lagi Mamanya mau menikah kembali, dan aku yakin bersama pria yang pernah kulihat bersama Sisi di Malioboro.
Hariku terasa menjadi tak bergairah kembali. Seperti kebiaasaan waktu dulu sering kuhabiskan malam bersama Sisi di Tugu jogja, malam itu pun aku menyisir kembali kenangan masa lalu, walau sekarang Tugu sudah banyak perubahan, banyak anak- anak muda kumpul disana. Ada yang berkostum wayang ada pula yang berkostum pocong. Menurut selera nereka mau berbuat apa, juga tidak ada yang mengusiknya.
Aku hanya duduk, merenungi nasib ini, sesekali kulepaskan pandangan jauh ke arah bintang bertaburan diatas sana, sesekali juga menebar pandangan di jalan melihat polah manusia diseputar Tugu Jogja. Seorang wanita duduk tak jauh dari tempatku berdiri, ku amati sebentar, kelihatannya ia juga lagi galau seperti aku.
Aku mencoba untuk melangkah lebih dekat lagi, bayangan wajahnya diterpa lampu sekitar, membuatku berdebar. Kelihatannya aku mengenal wajah itu, wajah yang tidak asing lagi bagiku. Sisi !
Ku coba lebih dekat lagi, ternyata benar dugaanku "Sisi !" Panggilku perlahan. Ia menoleh kearahku. "Dik." Begitu ia biasa memanggilku.
Hal yang justru tidak ku duga terjadi, ia memelukku, sambil meneteskan air mata, mungkin tak kuasa menahan beban hidup yang dihadapi, iapun bercerita, sudah dibohongi seseorang yang tidak lain adakah calon suaminya. Ia mengatakan kalau Tarna calon suaminya itu, masig bujangan, namun kenyataannya sudah punya istri dan dua anak, sebenarnya itu tidak masalah baginya. Akan tetapi karena kebohongannya, ia membatalkan pernikahannya. Aku dapat memahami akan hal itu dari pada nanti sudah jadi nikah selalu menunjukkan kebohongan dalam kehidupan sehari-hari.
"Terus rencanamu apa." Aku mencoba membuka percakapan begitu. Ia gelengkan kepala. Akupun segera mengatakan kepadanya, walau ada keraguan ku katakan juga kalau cintaku tidak berubah. Ia memandang tak berkedip, "akupun masih mengharapkamu." Begitu jawabnya
We (19/20)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun