FOMO dan Dampaknya
Tahun 2015, Australian Psychological Society (APS), asosiasi profesional Psikolog terbesar di Australia meluncurkan data bahwa sebanyak 56% anak-anak remaja yang memiliki tingkat FOMO lebih tinggi, cenderung mengalami adiksi dalam penggunaan sosial media.Â
Dampaknya anak-anak tersebut kerap merasa ketakutan ketika temannya memiliki lebih banyak pengalaman menarik (56%), merasa khawatir ketika mengetahui temannya bersenang-senang tanpa kehadirannya (60%), dan merasa terganggu ketika melewatkan kesempatan untuk berkumpul bersama (63%).
Ironisnya, dampak yang ditimbulkan FOMO ini tidak berhenti begitu seseorang memasuki usia dewasa. Fenomena ini juga banyak terjadi pada kelompok usia 18-35 tahun.
FOMO tidak hanya meninggalkan jejak negatif pada mental, tapi juga memiliki efek domino pada berbagai aspek kehidupan termasuk fisik, hingga finansial yang buruk di masa depan. Pasalnya, mereka yang hidup dalam bayang-bayang FOMO cenderung bersifat konsumtif dalam hal-hal yang sifatnya bukan kebutuhan primer.
Mengenal FOMO
FOMO merupakan kondisi dimana seseorang merasa takut akan ketinggalan sesuatu dan dicap ketinggalan zaman.
Kondisi ini berpotensi semakin parah mengingat era digital membuka pintu akses ke internet yang menyajikan secara gamblang informasi update berupa tren konser, fashion terbaru, tujuan wisata terhits, hingga informasi ponsel terupdate mudah sekali diperoleh.Â
Ratna Yunita Setiyani Subardjo, Dosen psikologi dari Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta, dikutip dari Kompas.com yang tayang pada (19/05/23) mengatakan FOMO dapat mendorong orang untuk mengeluarkan sejumlah uang dengan nilai yang tidak sedikit demi ingin eksis. Padahal, bisa jadi tujuan orang tersebut menabung adalah untuk kebutuhan tak terduga di masa depan.
Menilik Sisi Lain FOMO