Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menyusuri Museum MACAN, Menelusuri Kisah Yayoi Kusama lewat Karya

16 September 2018   10:00 Diperbarui: 16 September 2018   21:56 1609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dalam galeri My Eternal Soul Karya Yayoi Kusama | Foto: Anastasya Nathanael

Seperti kebiasaan sebelum-sebelumnya, saat memiliki waktu luang, saya kerap menjadi polisi timeline Instagram. Tujuannya ya macam-macam, membuang waktu, mencari inspirasi, update gosip terbaru dari akun gosip, stalking akun pacar, sebagian lagi memuaskan rindu pada aktor Lee Min Ho yang untuk membayangkan bertemu dengannya saja saya tak berani. Hehehe.

Dan dari kebiasaan jadi polisi timeline inilah ketidaksengajaan terjadi. Ada beberapa foto dari akun salah satu artis Indonesia yang cukup menarik perhatian. Memang sih, selama ini ada banyak foto lokasi wisata alam yang beredar luas, namun kali ini berbeda. Beda dalam arti kata yang menarik. Unik. Dan saya yakin, artis tersebutpun setuju.

Persetujuan tersebut hanya dideskripsikan dengan sebuah kalimat sederhana di keterangan gambar yang ditampilkan ke publik tersebut. "Dots everywhere"

Foto itu menunjukkan dirinya tengah berpose berlatar belakang warna hitam berhiasakan ragam warna lain yang membuatnya tampak unik. Permainan cahaya dalam balutan benda bulat yang menawan. Memantul kiri, kanan, atas dan bawah. Sedang foto lainnya berada dalam sebuah ruangan berwarna kuning dengan hiasan titik hitam yang tak terbatas. Duh, bukankah ini terlalu menggemaskan?

Dalam Infinity Mirrored Room karya Yayoi Kusama | Foto: Anastasya Nathanael
Dalam Infinity Mirrored Room karya Yayoi Kusama | Foto: Anastasya Nathanael
Demi menjawab rasa penasaran, searching segera dilakukan. Saya ingin ada di sana, itu yang hadir dalam benak kala itu. Mengabadikan foto dengan karya berbentuk titik tak berujung. Saya menyukai karya itu.

Kata orang-orang, ketika kita sangat menginginkan sesuatu hal terjadi, maka semesta turut bekerja untuk mewujudkannya. Berkali-kali saya ingin berangkat ke lokasi tersebut, maka berkali-kali pula ada saja halangan yang membuat perjalanan tak jadi dilakukan. Beruntung, menjelang hari-hari terakhir, CLICK Kompasiana memberikan kesempatan untuk mewujudkan harapan tersebut. Maka inilah dia, pengalaman berada di dalam Museum MACAN dan kisah-kisah di dalamnya. 

Museum MACAM, Museum Instagramable di Jakarta. Bukan Tentang Yayoi Kusama.

Tak perlu menunggu lama, jawaban segera ditemukan. Untuk bisa mewujudkan keinginan memiliki foto yang sama dengan artis di atas, saya harus terlebih dahulu ke Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara atau yang belakangan ramai disebut dengan museum MACAN.

Ah ya, sebelum melihat foto tersebut, sebelumnya sepintas saya pernah dengar nama Museum MACAN ini. Namun kala itu tak begitu saya pedulikan karena berpikir mungkin hanya sekedar sebuah tempat berisi patung, hiasan, atau mungkin benda yang keseluruhannya berbentuk macan atau terbuat dari kulit macan. Heheheh.

Dan ketika berada di dalam museum tersebut, semua terjawab. Semua tempat penuh karya berikut dengan cerita di dalamnya.

Begitu memasuki museum, saya dipertemukan dengan orang-orang yang memiliki niatan yang sama. Mengantri untuk menilik langsung karya-karya dalam Museum MACAN. Sedang mengantri untuk masuk ke dalam galeri, sebagian besar mereka yang terlebih dahulu tiba di sana sudah mengular untuk kembali mengantri memasuki ruangan demi ruangan karya yang telah tersedia.

Tempat ini sungguh menjadi surga untuk mengoleksi foto-foto yang unik, lucu, menggemaskan, dan bahkan saat ini masuk dalam kategori instagramable sehingga banyak diburu kaum muda. Apalagi, kedatangan saya di sana adalah hari terakhir museum ini terbuka untuk umum setelah sebelumnya beroperasi dari 12 Mei -- 9 September 2018 ini.

Banyak sekali manusia di sana, mengantri berebut foto. Mengantri berpose lalu sibuk berupaya untuk lekas memasukkannya ke media sosial meskipun sebenarnya di setiap lorong galeri, sinyal setiap provider seolah ikut bersembunyi di balik karya-karya tersebut. Hilang. Menguap entah ke mana. Namun, pengunjung-pengunjung itu, hebatnya, masih saja berhasil melakukan postingannya.

Museum ini dikenal sebagai museum MACAN yang instagramble, hanya sedikit yang tertarik dengan kehidupan pemilik karya. Penampilannya yang terbilang (maaf) sedikit aneh sepertinya tidak begitu mampu menarik perhatian pengunjung untuk mencari tahu mengapa karya-karya ini hadir.

Hari itu saya merasa, Yayoi Kusama adalah seniman hebat dengan karya yang berhasil mencuri perhatian jutaan manusia namun namanya terabaikan oleh keindahan karyanya. Pengunjung terasa tak terlalu ingin mengetahui lebih banyak tentang dirinya, tentang cerita mengapa karya-karya ini tercipta, tentang Museum Yayoi Kusama. Keberadaan pengunjung hari itu adalah tentang Museum MACAN yang instagramble lalu menunjukkan eksistensinya di media sosial.

Dan wanita tua berpenampilan nyentrik itupun terlupakan dalam gemerlap karyanya yang mencuri perhatian.

Kisah Di balik Karya

Mengusung tema Life is the Heart of a Rainbow pameran Yayoi Kusama ini adalah sebuah pameran survei yang berfokus pada keluaran Kusama yang berjumlah besar Pameran ini menjelajahi perkembangan motif dan tema ikoniknya juga keterhubungan formal dan konseptual kedua hal tersebut sepanjang karir sang seniman.

Termasuk di dalam hal ini adalah eksperimen lukis Kusama di awal kiprahnya pada 1950an yang menunjukkan kemunculan dari penggunaan polkadot, jaring dan labu yang khas; sepilihan lukisan infinity Nets yang tersohor; dokumentasi performans publik dan happenings; instalasi berukuran besar dan lukisan-lukisan baru yang mendemonstrasikan pendekatan Kusama yang memikat terhadap ruang. (Sumber: Buku Museum Guide).

Di dalam museum, beberapa karya yang tersaji antara lain:

  • Great Gigantic Pumpkin
  • Dots obsession -- Infinity Mirrored Room
  • Narcissus Garden 
  • The Spirit of the Pumpkins Descended into the heaven
  • I want to love on the festival night
  • Infinity Mirrored Room -- Brilliance of the souls
  • Infinity Nets
  • Love Forever
  • My Eternal Soul
  • The Obliteration Room

Sebagai awam yang hanya dapat menikmati karya, saya pikir saya tidak ada hak untuk berbicara lebih jauh tentang kurang lebihnya karya-karya Yayoi Kusama. Termasuk untuk memberikan opini.

Terkhusus untuk Infinity Nets, Love Forever, dan My Eternal Soul, saya hanya mendapati jaring yang saling terkait, gurat yang membentuk rupa manusia dan permainan garis serta tabrak warna yang meski saya perhatikan sampai mampuspun, saya tidak akan mengerti apa yang sedang saya lihat. Namun bagi mereka yang memahami, karya tersebut sungguh luar biasa.

Love Forever karya Yayoi Kusama | Foto: Anastasya Nathanael
Love Forever karya Yayoi Kusama | Foto: Anastasya Nathanael
Saya mencoba untuk berlama-lama di depan lukisan Love Forever, mengabadikan diri di sana, memandangi kembali foto tersebut, saya tetap tak memahami nilai keindahan yang oleh seorang pengunjung katanya "Ini bagus banget!". Saya pikir kedua belah pihak tidak ada yang salah. Cara seseorang mengapresiasi seni memang berbeda, bukan? Tergantung seberapa besar jiwa seni yang dimiliki masing-masingnya.

Namun, di luar dari ketiga karya di atas, saya takjub dan turut melebur ketika berada di dalam infinity Mirrored Room, turut bahagia di dalam ruangan The Obliteration Room lalu meninggalkan jejak di sana berupa dots yang dibagikan panitia kepada seluruh pengunjung untuk ikut serta menutupi ruangan tersebut dan "memusnahkannya" sebagaimana tujuan awal Yayoi Kusama menghadirkan The Obliteration Room -- Menghilangkannya tanpa bekas sama sekali.

Dari hadirnya seluruh karya tersebut, ada sebuah kisah yang cukup mengharukan yang menurut saya wajib untuk diapresiasi dan diketahui oleh seluruh pengunjung agar dapat berperan serta menjaga dan merawat seluruh isi museum.

Tahun 1940, seni menjadi tempat pelarian Yayoi Kusama akibat tekanan yang dihadapinya di rumah juga di negara asalnya, Jepang. Pilihan ini juga dilakukan sebagai cara untuk mengatasi gejala halusinasi yang terus menerus ia alami sejak kecil.

Ketika ia masih kecil, Yayoi Kusama mulai melihat dunia melalui sebuah layar penuh berisi polkadot mungil yang menyelubungi apapun yang ia lihat -- dinding, langit-langit, bahkan seluruh tubuhnya.

Yayoi Kusama bercerita tentang seluruh tekanan yang dialaminya melalui seni dan bukanlah langkah yang mudah yang dilakukannya agar karya tersebut bisa kita nikmati. Itu mengapa, setiap pengunjung yang memasuki museum MACAN, diwajibkan berkontribusi untuk menjaga seluruh karya dengan langkah-langkah sederhana:

  • Selalu menyimpan tiket
  • Memasuki area pameran sesuai waku yang tertera pada tiket
  • Dilarang membawa kamera DSLR, SLR, Poraid dan tidak diperkenankan untuk menggunakan lampu kilat
  • Memotret hanya diperkenankan dengan kamera ponsel
  • Tidak diperkenankan membawa alat bantu kamera seperti tripod, monopod dan tongkat swafoto
  • Dilarang membawa makanan dan minuman ke dalam pameran
  • Dilarang membawa binatang peliharaan ke lantai museum
  • Seluruh barang bawaan diperiksa di pintu masuk
  • Barang yang berukuran 24x24x15 cm harus disimpan di penitipan barang
  • Tidak diperkenankan menyentuh karya seni
  • Berbicara lembut, ponsel dalam mode senyap, dan tidak diperkenankan melakukan percakapan telepon di dalam area pameran
  • Berjalan denga tenang
  • Dilarang berlari dan memakai sepatu roda di dalam museum

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun