Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cerita PKL di B2PTTG LIPI Subang, Serunya Melakukan Penelitian Bagi Mahasiswa Hingga Karya Dipatenkan

10 Agustus 2018   21:10 Diperbarui: 10 Agustus 2018   21:10 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perpisahan bersama Bapak Pimpinan B2PTTG LIPI subang dan Ibu-ibu peneliti | Foto: Bp. Achmat

Tidak mudah untuk menembus perguruan tinggi impian, namun lebih tidak mudah lagi untuk melepaskannya dan melenggang manis di panggung berbalut baju kebesaran beserta toga yang melengkapinya.

2014 lalu, untuk bisa lekas-lekas meninggalkan dunia perkuliahan, seluruh mahasiswa semester akhir diberi kesempatan untuk mengeksplore kemampuan diri, pemahaman terhadap ilmu dan membangun diri sebagai persiapan memasuki dunia kerja. Mahasiswa diajak pula untuk peduli terhadap setiap detail pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya masing-masing agar bisa menentukan topik apa yang akan dibahas di TA atau skripsinya nanti.

Sebagai seorang sarjana muda, tugas kami saat itu hanya melaksanakan TA (Tugas Akhir). Kebetulan dari kampus memberikan kesempatan kepada seluruh mahasiswa mahasiswinya untuk menentukan lokasi PKL (Praktik Kerja Lapang) yang diinginkan mahasiswa. Tempat yang sesuai keinginan.

Hal ini bertujuan agar mahasiswa tidak merasa terbebani dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Pun, sewaktu-waktu terjadi penyesalan mengapa dulu memilih tempat tersebut, mahasiswa/i tidak bisa menyalahkan pihak lain selain dirinya sendiri. Itu sebabnya setiap pilihan dipikirkan matang-matang.

Dengan berbagai alasan dan pemikiran, saya memutuskan untuk memilih Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (B2PTTG LIPI) di Subang, Jawa Barat, bersama dengan 2 mahasiswi lainnya.

Ya sebenarnya dulu sesederhana pemikiran mahasiswa saja sih "Ingin mengenal Subang dan sepertinya nama LIPI akan sangat menjual jika tercatut di riwayat hidup kelak" hanya itu. Jika dikira kami bertiga memiliki pemikiran yang mendalam atau alasan spesifik lainnya, jelas tidak ada. Haha.

Nasehat Dosen dan Lapangan yang Bertolak Belakang.

Jauh sebelum keberangkatan ke lokasi PKL, seluruh mahasiswa/i dibekali dengan beberapa nasihat dan perkiraan kurang lebih kondisi yang akan dialami di lokasi PKL. Hal ini dimaksud agar mahasiswa/i berkomitmen patuh pada aturan yang selama hampir 3 tahun dijalani, disiplin, dan tidak mencoreng nama baik pribadi dan almamater.

Salah satu yang terekam erat adalah "Bahwa setiap menghadiri acara formal, mahasiswa/i wajib pula untuk menggunakan pakaian formal seperti kemeja berikut seragam almamater, rok, serta sepatu pantofel.

Bermodal pesan yang langsung kami lakukan ini, kami bertiga untuk pertama kali menginjakkan kaki di lobby gedung LIPI Subang. Usai berjalan kurang lebih 1 km dari penginapan. Menanti seseorang yang akan menghampiri kami dan menyadari bahwa "titipannya" telah tiba dengan selamat di lokasi.

Sebuah bel berdering cukup nyaring. Pukul 07.00 WIB tepat. Masih terus menanti di lobby sambil sesekali sok sibuk mencari tahu berita teraktual melalui setumpuk koran yang memang sengaja diletakkan di meja.

Tidak lama, seorang pria paruh baya menghampiri kami bertiga. Tatapannya cukup tajam, tidak ada senyum di sana. Cukup untuk bikin bergidik 3 orang mahasiswi Sumatera yang terus melemparkan senyum palsu (baca: ketakutan) selama berada di ruangan.

Foto perpisahan bersama Bapak dan Ibu Pembimbing | Foto: Bp. Achmat
Foto perpisahan bersama Bapak dan Ibu Pembimbing | Foto: Bp. Achmat
Wajar saja, senam jantung di hari pertama itu memang perlu meski sangat menakutkan.

Masih teringat dengan sangat jelas bagaimana Beliau memandang kami dari atas hingga ke bawah. Dalam rautnya, saya dapat menangkap sebuah pertanyaan namun tak dapat menebak kira-kira apa yang akan disampaikan olehnya.

Tidak jelas siapa yang pertama kali mengulurkan tangan untuk berjabatan - sebuah keharusan dalam pertemuan pertama, dan bentuk penghormatan dari 3 orang tamu ringkih dihadapan yang dituakan serta menjadi tombak penentu kehidupan kami 3 bulan ke depan - tangan tersebut diabaikan. Hahaha.

Sebaliknya, beliau memperkenalkan diri secara singkat lalu kami dibawa ke dalam suatu ruangan. Mirip ruangan biasa dari luar, namun setelah masuk, tempat tersebut ternyata adalah sebuah laboratorium pengolahan.

Usai beradaptasi sesaat, kami membaur bersama Ibu-ibu peneliti lainnya dalam pelaksanaan project mereka. Pengolahan makanan untuk kebutuhan kemanusiaan. Bahasanya kerenkan? Memang itulah yang dilakukan di sana. Ini jugalah yang menjadi satu alasan mengapa saya tidak pernah menyesali keputusan untuk memilih LIPI sebagai tempat saya menggali potensi. Meneliti sesuatu itu tanpa disadari berhasil menanamkan rasa percaya diri, pula, melatih diri untuk lebih teliti dan ingin mengetahui lebih banyak lagi. 

Mengolah makanan untuk kebutuhan penelitian itu gampang-gampang sulit. Gampang jika terbiasa dan hati bahagia, sulit karena harus teliti terhadap setiap angka. Perbedaan yang signifikan akan menghasilkan hasil yang berbeda. Mungkin saja itu lebih baik, mungkin saja malah makin buruk. Pasti. Alasan ini pulalah mengapa penelitian harus dilakukan berulang-ulang.

Dari sana, akhirnya saya mendapat jawaban mengapa kami disambut dengan tak bersahabat oleh pria paruh baya yang hingga saat ini sangat saya hormati karena kepedulian Beliau terhadap anak didiknya - Bapak Achmat namanya - KAMI SALAH KOSTUM!

Butuh pergerakan yang cepat untuk melakukan ini itu di laboratorium. Di laboratorium kampus pun kami terbiasa dengan pakaian nyaman agar lebih mudah melakukan pergerakan. Hanya saja, kami sangat tidak menyangka akan menghadapi hal ini di hari pertama PKL. 

Gesit adalah satu-satu kata yang sangat dibutuhkan - selain teliti tentu saja - untuk memaksimalkan kinerja, waktu dan bahan yang tersedia.

Bagaimana mau gesit jika yang dikenakan adalah rok span? Kemeja dengan jaket almamater ditambah pula dengan pantofel dilengkapi sedikit heels demi kesan anggun yang sangat tidak dibutuhkan di tempat tersebut. Kami kesulitan untuk bergerak dengan kostum ini!

Kabar baiknya dari hal ini adalah,

  • Kami mengindahkan pesan dosen
  • Kami belajar bahwa membawa pakaian ganti sangat dibutuhkan untuk berjaga-jaga kondisi lapangan yang akan dihadapi tak sesuai dengan pakaian yang sedang dikenakan.
  • Ini menjadi kenangan konyol dan lucu setiap kali ingatan terbang ke Februari 2014.

Melatih Kreativitas Mahasiswa dengan Pertanyaan "Mengapa"

Beberapa hari di LIPI, kami masih berjibaku dengan project yang tengah Bapak/Ibu pembimbing lakukan saat itu. Memasuki minggu kedua atau dipertengahannya, kami menyadari ada yang salah setiap kali melakukan pengolahan. Ada bahan yang tersisa lalu terbuang di sana. "Mengapa tidak semua bahan dapat dimanfaatkan? Mengapa harus ada yang terbuang?"

Inilah yang menjadi hal yang menarik di saat PKL di LIPI, kami dilatih untuk bertanya "Mengapa" dalam setiap tahapan yang sedang kami kerjakan. Kami juga diberi kepercayaan penuh untuk mengeksekusi project Beliau setelah ditatar sebelumnya.

Begitu pertanyaan tersebut keluar, kami bertiga saling pandang. Kami mencatatnya rapi dalam jurnal untuk segera dibahas dengan pembimbing - Sekaligus pamer bahwa akhirnya kami menemukan topic yang akan diulas -

Gayung bersambut. Ide kami diterima baik. Masukan demi masukan diberikan. Percobaan demi percobaan disarankan. Buku-buku pendukung tak luput disampaikan untuk mempermudah kami menjawab pertanyaan-pertanyaan "Mengapa" lainnya dalam penelitian yang akan kami hadapi.

Maka dengan hal tersebutlah kami berjibaku selama 3 bulan.

Pembimbing yang awalnya kami kira tak akan bisa diajak kerjasama itu berbalik 180 derajat. Kami didukung penuh, didorong agar semangat tidak sempat mengendur sampai tiap jawaban ditemukan. Kami sungguh-sungguh seperti menemukan keluarga baru di sana.

Tidak ada sedikit pun ide kami bertiga yang tak dihargai. Setiap temuan baru yang berhasil kami dapatkan dicatat rapi untuk kemudian dilengkapi. Sebagai seorang mahasiswi, kami benar-benar merasakan penghargaan di sana.

Penghargaan Terindah dalam Kurun Waktu 3 Bulan dari Pembimbing, Peneliti dan LIPI

Membayangkan berhasil menghadirkan inovasi saja sudah cukup membahagiakan saat itu, hal yang menakjubkannya lagi, kami bahkan dipercaya mencari tahu kandungan gizi yang terdapat dalam produk olahan kami masing-masing dengan melakukan uji Proximat.

Tidak akan ada seorang pun mahasiswa berani bermimpi memiliki sebuah karya yang akhirnya dipatenkan. Namun itu menjadi nyata saat kami berada di LIPI. Karya yang berawal dari tanya "mengapa" itu dihargai dengan harga yang tak ternilai. Nama kami tercatut di sebuah karya yang telah dipatenkan, pun nama Perguruan Tinggi tempat kami berasal. 

Lembar ucapan terima kasih dari Karya yang dipatenkan | Foto: screenshoot researchgate.net
Lembar ucapan terima kasih dari Karya yang dipatenkan | Foto: screenshoot researchgate.net
Hanya ucapan terima kasih sebenarnya, pun tertulis di lembaran paling akhir. Namun, menorehkan nama sejajar dengan mereka yang ekspert di bidangnya, pun di bawah naungan Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (B2PTTG LIPI), ini sudah lebih dari cukup sebagai alasan untuk bahagia.

Karya tersebut tak berhasil kami tuntaskan. Namun, sudah kepalang basah, pembimbing kami menyelesaikannya hingga akhirnya dipatenkan 2015 silam dan mencantumkan nama kami sebagai penemu ide di sana. 

Hal yang paling mengharukan adalah, kami mendapati pembimbing kami yang tak ramah di awal pertemuan memberikan sebuah perpisahan layaknya seorang Bapak yang akan melepaskan anak-anaknya ke dunia luar usai dididik dengan jerih payahnya bersama dengan sebagian besar peneliti-peneliti di sana. 

Peranan penelitian yang diperoleh sejak duduk di bangku kuliah begitu memiliki dampak yang tinggi kepada kehidupan mahasiswa yang memiliki jiwa pengusaha. 

Tak ingin menghabiskan waktu di perusahaan yang mungkin saja dengan mudah memecatnya, mereka memilih untuk bereksperimen, mewujudnyatakan ide-ide dalam bentuk produk baru. Merintis dari awal hingga akhirnya berhasil berdiri di bawah kaki sendiri dan memberi kehidupan pada orang lain yang belum berkesempatan mendapatkan pekerjaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun