Tidak lama, seorang pria paruh baya menghampiri kami bertiga. Tatapannya cukup tajam, tidak ada senyum di sana. Cukup untuk bikin bergidik 3 orang mahasiswi Sumatera yang terus melemparkan senyum palsu (baca: ketakutan) selama berada di ruangan.
Masih teringat dengan sangat jelas bagaimana Beliau memandang kami dari atas hingga ke bawah. Dalam rautnya, saya dapat menangkap sebuah pertanyaan namun tak dapat menebak kira-kira apa yang akan disampaikan olehnya.
Tidak jelas siapa yang pertama kali mengulurkan tangan untuk berjabatan - sebuah keharusan dalam pertemuan pertama, dan bentuk penghormatan dari 3 orang tamu ringkih dihadapan yang dituakan serta menjadi tombak penentu kehidupan kami 3 bulan ke depan - tangan tersebut diabaikan. Hahaha.
Sebaliknya, beliau memperkenalkan diri secara singkat lalu kami dibawa ke dalam suatu ruangan. Mirip ruangan biasa dari luar, namun setelah masuk, tempat tersebut ternyata adalah sebuah laboratorium pengolahan.
Usai beradaptasi sesaat, kami membaur bersama Ibu-ibu peneliti lainnya dalam pelaksanaan project mereka. Pengolahan makanan untuk kebutuhan kemanusiaan. Bahasanya kerenkan? Memang itulah yang dilakukan di sana. Ini jugalah yang menjadi satu alasan mengapa saya tidak pernah menyesali keputusan untuk memilih LIPI sebagai tempat saya menggali potensi. Meneliti sesuatu itu tanpa disadari berhasil menanamkan rasa percaya diri, pula, melatih diri untuk lebih teliti dan ingin mengetahui lebih banyak lagi.Â
Mengolah makanan untuk kebutuhan penelitian itu gampang-gampang sulit. Gampang jika terbiasa dan hati bahagia, sulit karena harus teliti terhadap setiap angka. Perbedaan yang signifikan akan menghasilkan hasil yang berbeda. Mungkin saja itu lebih baik, mungkin saja malah makin buruk. Pasti. Alasan ini pulalah mengapa penelitian harus dilakukan berulang-ulang.
Dari sana, akhirnya saya mendapat jawaban mengapa kami disambut dengan tak bersahabat oleh pria paruh baya yang hingga saat ini sangat saya hormati karena kepedulian Beliau terhadap anak didiknya - Bapak Achmat namanya - KAMI SALAH KOSTUM!
Butuh pergerakan yang cepat untuk melakukan ini itu di laboratorium. Di laboratorium kampus pun kami terbiasa dengan pakaian nyaman agar lebih mudah melakukan pergerakan. Hanya saja, kami sangat tidak menyangka akan menghadapi hal ini di hari pertama PKL.Â
Gesit adalah satu-satu kata yang sangat dibutuhkan - selain teliti tentu saja - untuk memaksimalkan kinerja, waktu dan bahan yang tersedia.
Bagaimana mau gesit jika yang dikenakan adalah rok span? Kemeja dengan jaket almamater ditambah pula dengan pantofel dilengkapi sedikit heels demi kesan anggun yang sangat tidak dibutuhkan di tempat tersebut. Kami kesulitan untuk bergerak dengan kostum ini!