Mohon tunggu...
Fajar Arif Budiman
Fajar Arif Budiman Mohon Tunggu... Konsultan Politik dan Kebijakan Publik -

Konsultan Politik dan Kebijakan Publik Executive Director POLDATA INDONESIA CONSULTANT Aktivis Pemberdayaan Pemuda

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Angin Surga di Jakarta dan Urbanisasi Pasca Idul Fitri

13 Juli 2016   11:35 Diperbarui: 13 Juli 2016   13:04 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: okezone.com

Untuk negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Hari Raya Idul Fitri merupakan salah satu agenda terpenting bagi pemerintah. Hari Raya Idul Fitri di Indonesia berarti lonjakan harga komoditas tertentu, ledakan pengguna prasarana dan sarana perhubungan, bahkan peningkatan angka kriminalitas.

Bagi Jakarta, Idul Fitri juga menambah daftar pekerjaan kepemerintahan yang harus diantisipasi setiap tahunnya. Salah satu di antaranya adalah gelombang urbanisasi. Arus balik setiap tahun tercatat lebih tinggi daripada arus mudik, hal ini dikarenakan terdapat sejumlah orang yang turut datang ke Jakarta untuk menetap permanen atau sementara.

Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Kementerian Perhubungan menyatakan bahwa potensi migrasi ke Jakarta dan daerah sekitarnya (Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi) bersamaan dengan arus balik sebanyak 181.642 orang. Khusus DKI Jakarta, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil memprediksi jumlah pendatang yang bersamaan dengan arus balik Hari Raya Idul Fitri tahun 2016 sampai 70.000 orang.

Selain meningkatkan kepadatan penduduk di Jakarta, urbanisasi juga dipercaya mengakibatkan permasalahan sosial lainnya. Misalnya meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan di Jakarta. Hal ini terjadi karena tidak semua orang yang melakukan urbanisasi sudah memiliki pekerjaan di Jakarta.

Mereka berangkat ke Jakarta dari kampung halaman berbekal angin surga yang ditawarkan oleh ibukota. Kehidupan serba sejahtera yang ditayangkan oleh media ditambah dengan cerita indah kawan perantau semakin meyakinkan pemuda desa untuk mengadu nasib di Jakarta. Tentu tidak semua orang yang melakukan urbanisasi dapat merasakan indahnya hidup di Jakarta, tidak sedikit yang lantas terkapar dalam kerasnya persaingan di dunia kerja Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, menyatakan tidak keberatan dengan warga pendatang di Jakarta. Ahok, panggilan akrab Basuki, menyatakan bahwa urbanisasi mendorong pertumbuhan ekonomi. Meski Ahok dengan tegas memberikan syarat kepada para pendatang yaitu mereka yang sudah memiliki pekerjaan atau keahlian dan tidak tinggal di sekitar sungai dan waduk atau membuat kawasan kumuh baru.

Pemerintah DKI Jakarta memang tidak bisa melarang urbanisasi. Upaya-upaya kontrol urbanisasi yang kerap dilakukan oleh pemerintah sesungguhnya tidak menyelesaikan persoalan hingga ke akarnya. Kuatnya daya tarik angin surga yang ditawarkan Jakarta semakin memikat orang untuk mengadu nasib di sana. Selain itu, ekonomi yang berjalan lambat di daerah menjadi faktor pendorong yang kuat.

Boleh jadi, peristiwa urbanisasi yang fenomenal ini terjadi karena pemerintah pusat tidak mampu menciptakan pembangunan yang merata di daerah sehingga warga daerah terutama para pemuda atau kelompok usia produktif mengambil keputusan untuk mengadu nasib di Jakarta. Meski di era pemerintahan Jokowi transfer dana ke daerah mencapai Rp. 770 triliun dari total Rp. 2.000 triliun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Besarnya dana APBN yang dikelola oleh pemerintah daerah seharusnya dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi di setiap daerah sehingga tercipta pemerataan pembangunan. Jika pembangunan sudah merata maka kemegahan Jakarta tidak akan lagi menjadi faktor penarik yang dahsyat. Warga di daerah akan bertahan di kampung halaman dengan menciptakan peluang-peluang ekonomi untuk menunjang penghidupan yang sejahtera.

Oleh karena itu, itikad baik Jokowi untuk mendistribusikan APBN untuk dikelola oleh daerah harus disertai pengawasan yang ketat dari pemerintah pusat. Mekanisme evaluasi kebijakan publik harus diterapkan sebagai ukuran keberhasilan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Misalnya dengan menghitung manfaat yang diterima oleh masyarakat dibandingkan dengan dana yang telah dikeluarkan untuk membiayai serangkaian program dan kegiatan tersebut. Jika ternyata indikator-indikator pembangunan tidak mencapai target maka sanksi yang tegas harus diterima oleh pemerintah daerah.

Jika pemerintah, baik pusat maupun daerah, mampu memberikan benefit yang dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang merata di setiap daerah di Indonesia maka urbanisasi tidak akan lagi menjadi momok yang menghantui Jakarta dan kota besar lainnya di Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun