Mohon tunggu...
Fajar Arif Budiman
Fajar Arif Budiman Mohon Tunggu... Konsultan Politik dan Kebijakan Publik -

Konsultan Politik dan Kebijakan Publik Executive Director POLDATA INDONESIA CONSULTANT Aktivis Pemberdayaan Pemuda

Selanjutnya

Tutup

Money

Kenapa Harus Takut Menghadapi MEA?

17 Maret 2016   15:59 Diperbarui: 17 Maret 2016   16:07 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber : pengertian.website"][/caption]Sekedar untuk menyegarkan ingatan kita mengenai Masyarakat Ekonomi Asean, atau yang lebih akrab disebut MEA, merupakan sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara. Secara sederhana, MEA memungkinkan kemudahan perdagangan dari satu negara ke negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat.

Tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, MEA juga membuka peluang “pasar”  tenaga kerja profesional untuk untuk bekerja di negara manapun di Asia Tenggara. Itu berarti tenaga kerja profesional asing dapat mengambil bagian dalam persaingan antar profesional dalam setiap bidang pekerjaan di Indonesia. Tidak berhenti di sana, para profesional putra bangsa Indonesia juga berpeluang untuk merebut kesempatan berkarir di negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara.

MEA yang sudah dimulai akhir tahun kemarin memancing opini beragam dari masyarakat Indonesia. Banyak yang optimis bahwa tenaga kerja dan produk Indonesia akan mampu bersaing bahkan menguasai pasar Asean, meski tidak sedikit juga yang pesimis dan memprediksi orang Indonesia akan menjadi jongos di rumahnya sendiri. Perbedaan pendapat tentu merupakan rahmat.

Ketua Persatuan Advokat Indonesia, menyatakan bahwa advokat Indonesia sudah cukup unggul. Meski beberapa, terutama yang senior, biasanya terkendala oleh bahasa. Namun masalah itu tidak dirasakan oleh advokat muda karena banyak juga yang menguasai bahasa Inggris atau karena sekolah di luar misalnya.

Begitu juga dengan yang disampaikan oleh Ketua Institut Akuntan Publik Indonesia, menurutnya kualitas akuntan Indonesia secara keilmuwan di atas rata-rata kemampuan akuntan dari negara Asean lainnya. Namun akuntan Indonesia, terutama yang masih muda, terkendala secara mental dan belum siap bersaing dengan akuntan asing.

Perbincangan di jagat media sosial sebagian besar mengarah pada pesimisme akan kemampuan tenaga kerja Indonesia dalam menghadapi kompetisi di era MEA. Dengan berbagai alasan, netizen Indonesia terlanjur percaya bahwa kemampuan tenaga kerja dan produk negara-negara Asean lebih baik dari yang dimiliki oleh Indonesia.

Mungkin mental block ini tidak terlepas dari warisan feodalisme dan kolonialisme yang menjadi sejarah tidak terpisahkan dari bangsa ini. Bagaimana tidak, sejarah yang diajarkan di sekolah menceritakan bahwa bangsa ini dijajah oleh bangsa-bangsa asing selama ratusan tahun. “Warisan” kolonialisme juga muncul di sebagian besar masyarakat kita dengan menganggap bahwa merk produk luar negeri, terutama Amerika dan Eropa, lebih bagus dan bergengsi. Efeknya adalah rendahnya konsumsi produk dalam negeri dan mendorong pembajakan produk dan merk luar negeri karena memang lebih diminati pasar Indonesia.

Terlepas dari sejarah yang membentuknya, mental inferior ini merupakan masalah yang semestinya menjadi fokus perhatian pemerintah terutama beberapa lembaga yang secara langsung berkewajiban menyikapi MEA. Mental inferior yang sesungguhnya menjadi masalah utama justru seakan dilewatkan oleh pemerintah. Terbukti dengan kampanye yang dilakukan oleh pemerintah lebih menitikberatkan pada eskposur efek buruk MEA bagi masyarakat Indonesia, yang selanjutnya disikapi dengan “phobia” oleh para pelaku usaha mikro dan kecil.

Padahal jika kita bersedia memperhatikan indikator ekonomi makro yang menjadi ukuran kemajuan suatu negara, yang selanjutnya dapat diasumsikan sebagai kekuatan menghadapi MEA, maka Indonesia sesungguhnya sudah berada pada posisi yang unggul dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya.

Salah satu indikator tersebut adalah GDP (Gross National Bruto) atau Pendapatan Nasional Bruto (PDB). Menurut International Monetary Fund (IMF), Indonesia berada pada urutan pertama negara di Asean dengan GDP tertinggi pada tahun 2015, dan urutan 12 di dunia. Posisi 20 besar di dunia ini yang membuat Indonesia memantapkan keanggotaannya sebagai negara G-20. Berkat hal ini, dunia internasional menaruh hormat yang sangat tinggi kepada Indonesia sebagai satu-satunya negara di Asia Tenggara yang berhasil masuk ke G-20.

Dengan modal ini, seharusnya negara lain yang takut pada Indonesia, bukan justru sebaliknya. Mereka akan sangat ketakutan peluang pasar mereka didominasi oleh produk dan tenaga kerja Indonesia. Dengan posisi kuat ini, seharusnya bangsa Indonesia lebih percaya diri dan bahkan merasa sangat diuntungkan dengan MEA karena peluang pasar menjadi lebih terbuka lebar untuk produk barang dan jasa serta tenaga kerja dari Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun