Mohon tunggu...
Enda Dahriah
Enda Dahriah Mohon Tunggu... -

Perempuan biasa yang sederhana...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Saat Bencana Merenggut Segalanya

7 November 2010   04:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:47 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_317560" align="aligncenter" width="253" caption="Ilustrasi dari bennyantoni.blogspot.com"][/caption] Arsan masih saja menangis di pangkuan Muti. Tak seperti biasanya balita yang belum genap berumur satu tahun itu tak mau lepas dari pangkuan ibunya. "Cup..cup.. Arsan jangan nangis terus ya.. sudah malam sayang cepat tidur.." Dengan sabar Muti menenangkan anaknya. "Mamak belum tidur ?" Ujar Muti saat melihat ibunya masih saja sibuk menggoreng kerupuk ikan di dapur. "Kau tak perlu khawatir Muti, bukankah besok kerupuk-kerupuk ini harus kau jual ke pasar,jadi kau tidur saja dulu, mamak belum ngantuk" Mamak tersenyum, diwajahnya tersirat rasa lelah yang tak dapat ia sembunyikan. "Mamak jangan terlalu capek, biar Muti saja yang mengerjakannya Mak" Kata muti, dipangkuannya Arsan mulai tertidur. "Sudah tak apa-apa.. kau tidur saja sana!" ujar Mamak bersikeras. Andai saja suaminya mengiriminya uang dari perantauan seperti bulan-bulan sebelumnya, mungkin Muti dan ibunya tak perlu bersusah payah mencari uang, namun selama dua bulan belakangan ini Rusdi suaminya belum mengirimkan uang sepeserpun, jangankan mengirimkan uang, bahkan selama sebulan ini Muti belum menerima kabar apapun dari suaminya. "Bang... Apakah abang baik-baik saja?" Muti menghela nafas, ada rasa rindu yang luar biasa bergejolak di dadanya.

*****

Keesokan harinya, saat malam mulai larut, Muti, Mamak, dan Arsan berbaring satu ranjang. Rasa lelah yang mendera ketiganya seakan menambah lelap tidur mereka. Namun, saat jam yang menggantung di dinding kayu kamarnya menunjukkan pukul sepuluh kurang seperempat, tiba-tiba saja bumi bergetar hebat, guncangannya yang sangat kuat membangunkan mereka dari tidur nyenyaknya.

"Mamak.. gempa.." Rasa panik dengan cepat menyergap ketiganya, Muti segera memeluk anaknya yang menangis. Mereka segera berlari keluar rumah. Di luar rumah tampak orang-orang berlarian penuh rasa takut, beberapa saat kemudian terdengar jeritan-jeritan panik.

"Tsunami... Lari..!!"

Sayup-sayup terdengar suara gemuruh, semakin lama suara itu terdengar semakin keras menghentak, mereka segera mempercepat langkah kakinya menjauhi sumber suara.

"Mutiiii...." mamak berteriak, saat kakinya tersandung batu, dan jatuh tersungkur di tanah. saat muti hendak menghampirinya, seketika itu pula ia melihat air laut setinggi pohon kelapa bergulung-gulung tidak jauh dari tempat mamaknya terjatuh.

"Mamaaak...." Muti menjerit histeris saat melihat gelombang air laut hitam pekat melumat tubuh mamaknya, menghancurkan semua yang dilaluinya, dalam beberapa detik saja ombak yang maha dahsyat telah berada di hadapannya, dan dalam satu hembusan nafas, gelombang itu menerjang tubuh Muti dan anaknya. Arsan terlepas dari pangkuannya, tubuhnya terseret menjauhi Muti.

"Arsaaan.." jeritan pilu Muti. Tubuhnya timbul tenggelam terseret arus air, dengan sisa-sisa tenaga dan setengah kesadarannya, Muti berhasil meraih gelondongan kayu yang terapung.

*****

Beberapa hari kemudian, saat bencana mereda, di tanah yang telah porak poranda, saat orang-orang sibuk mencari sanak saudaranya yang hilang. Muti dengan luka-luka di sekujur tubuhnya berjalan kesana kemari, mulutnya tak berhenti bergumam, sesekali dia menangis, namun sesaat kemudian dia tertawa. Bencana Tsunami benar-benar telah merenggut segalanya, bahkan akal sehatnya.

*****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun