Creng.... creng, suara dua buah celurit betemu yang dipegang para pihak yang tengah bertarung di sebuah tepi jalan raya di kota hantu nan jauh dari Jakarta.
Menyaksikan dua abang becak duel di tempat ramai menggunakan senjata tajam tersebut tentu saja menimbulkan rasa ngeri. Takut namun sulit menghindar. Sebab, kejadiannya demikian tiba-tiba. Mengejutkan.
Lantaran kaget, secara spontan penulis berteriak. Tolong....tolong, pisahkan.
Rupanya teriakan penulis mendapat perhatian orang sekitar. Tanpa sengaja pula seseorang yang memegang kayu ukuran panjang melerai kedua orang yang tengah siap-siap melompat menerjang lawannya.
Perkelahian terhenti. Keduanya mundur dan masing-masing pihak diamankan warga secara terpisah.
Lalu, perasaan penulis menjadi lega. Korban dari pertarungan tersebut tak terjadi.
Dari peristiwa itu, muncul rasa ingin tahu apa duduk soal yang menyebabkan sesama tukang becak tersebut demikian menyeramkan dalam menyelesaikan persoalan.
Kehormatankah?
*
Peristiwa tersebut merupakan pengalaman penulis ketika awal bermukim di kota Pontianak pada 1995. Kala itu, kota Khatulistiwa masih tergolong sepi. Namun etnis dari anggota keluarga kita dari Pulau Garam sudah banyak bermukim di kota tersebut.
Tulisan ini tak bermaksud mengangkat "kerasnya" warga Madura dalam membela harga diri. Juga tak bermaksud untuk melukai perasaan saudara kita dari Pulau Garam. Tetapi ini kisah yang sudah menjadi cerita umum di masyarakat kota tersebut ketika etnis dari Pulau Garam bertikai dengan sesamanya diselesaikan dengan cara Carok.