Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bagi Pemerintah, Benarkah FPI Bagai Batu Kerikil dalam Sepatu?

6 Desember 2019   09:49 Diperbarui: 6 Desember 2019   09:57 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pimpinan FPI ketika tampil dalam unjuk rasa. Foto | Pintarpolitik.

Lalu, bagaimana sudut pandang dari Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri. Mantan Kapolri ini punya penilaian sendiri dari kaca mata yang dikenakan. Ia tentu punya catatan panjang tentang ormas tersebut. Baik dan buruknya sudah ditimbang: lebih baiknyakah atau kebanyakan buruknya?

Jejak ormas itu, termasuk perilakunya di berbagai daerah, belum lagi ditingkahi dengan narasi provokasi, sudah terekam di benak bagi aparat kepolisian.

Karena itu, ketika surat rekomendasi dari Kemenaterian Agama muncul di hadapannya, Tito tak terburu-buru menyambut. Apa lagi segera menerbitkan perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar (SKT). SKT milik FPI habis masa berlakunya 20 Juni 2019.

Penilaian Tito itu terekam ketika ia menanggapi berbagai pertanyaan dari Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat ihwal polemik perpanjangan SKT FPI. Diungkap, Pasal 6 Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga FPI masih perlu kajian mendalam.

Pasal 6 AD/ART itu berbunyi, visi dan misi FPI adalah penerapan syariat Islam secara kafah di bahwa naungan khilafah Islamiah menurut manhaj nubuwwah, melalui pelaksanaan dakwah, penegakan hisbah dan pengamalan jihad.

"Inilah yang sedang didalami lagi oleh Kementerian Agama. Karena ada beberapa pertanyaan yang muncul, ini agak kabur-kabur bahasanya," kata Tito dalam rapat kerja dengan Komisi II di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 28 November 2019.

Kata-kata penerapan Islam secara kafah itu secara teori teologi bermakna bagus. Namun dia mengungkit munculnya istilah NKRI bersyariah dari FPI. Tito mempertanyakan apa yang dimaksud prinsip bersyariah dalam pernyataan FPI itu.

"Apakah seperti yang ada di Aceh? Kalau dilakukan, bagaimana tanggapan dari elemen-elemen lain, elemen-elemen nasionalis mungkin, elemen minoritas," kata Tito.

Jelas saja hal itu berpotensi keinginan daerah-daerah untuk membuat peraturan daerah masing-masing sesuai dengan prinsip keagamaan mayoritas di daerah tersebut. Manokwari, Papua, misalnya, bisa-bisa mengusulkan perda keagamaan. Begitu juga dengan Bali yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu.

Masalah lain, kata 'di bawah naungan khilafah Islamiah menurut manhaj nubuwwah' yang ada dalam Pasal 6 AD/ART FPI itu. Dia tak menafikan bahwa kata khilafah sensitif di Indonesia. Pertanyaannya, apakah khilafah bermakna teologis atau sistem negara.

Tak ada masalah dengan pelaksanaan dakwah. Namun menyangkut penegakan hisbah, prinsip ini semacam amar ma'ruf nahi mungkar atau perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun