Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Salahkah Penjahat Tiba-tiba Jadi Seorang Santri?

22 Oktober 2019   22:26 Diperbarui: 22 Oktober 2019   22:45 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siroj (kedua kiri) bersama Rais Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar (kanan) berbincang dengan santri saat menyerahkan beasiswa dalam peringatan Hari Santri Nasional 2019 di Kampus Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (22/10/2019). Peringatan Hari Santri Nasional 2019 yang diselenggarakan PBNU yang diikuti ratusan santri dan mahasiswa NU tersebut mengambil tema Santri Unggul Indonesia Makmur. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/pras.

 

Tak dapat dibantah bahwa pendidikan Islam melalui pondok pesantren sudah berlangsung cukup lama, sejak agama itu masuk ke bumi Nusantara.

Lembaga pendidikan ini awalnya sangat sederhana, bersifat informal dan dikembangkan para mubaligh dan melalui tokoh agama (kiai) melalui pengajian-pengajian di musholla, masjid dan kediaman para tokoh agama.

Lalu, berkembang menjadi pondok pesantren, madrasah dan perguruan tinggi Islam. Seiring dengan berdirinya Departemen (Kementerian) Agama pada 1946, pendidikan Islam, sebagai kelompok mata pelajaran terus dikembangkan di sekolah pada tingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar, menengah dan perguruan tinggi umum.

Kita bersyukur, dewasa ini, lembaga pendidikan Islam memiliki kedudukan kuat dalam sistem pendidikan karena dinyatakan bagian integral dalam sistem pendidikan nasional. Dalam UU No.20 tahun 2003, sebut saja, kedudukan madrasah punya posisi yang sama dengan sekolah.

Sedangkan kedudukan pendidikan pesantren diakui sebagai bagian dari pendidikan keagamaan, akan dilestarikan, dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya oleh pemerintah. Yang menggembirakan adalah kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia juga memperoleh apresiasi dalam pendidikan nasional.

Hal itu tertuang dalam UU Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007. Intinya, setiap satuan pendidikan wajib memberikan pendidikan agama kepada seluruh peserta didik sesuai dengan agama yang dianut masing-masing peserta didik.

**

Dalam KBBI pengertian kiai demikian luas. Lihat, kiai1/ki*ai/ n 1 sebutan bagi alim ulama (cerdik pandai dalam agama Islam): -- Haji Wahid Hasyim; 2 alim ulama: para -- ikut terjun ke kancah peperangan sewaktu melawan penjajah; 3 sebutan bagi guru ilmu gaib (dukun dan sebagainya): khabarnya Pak -- bisa menghubungkan orang dengan roh nenek moyangnya; 4 kepala distrik (di Kalimantan Selatan): ia menjadi seorang -- di distrik itu; 5 sebutan yang mengawali nama benda yang dianggap bertuah (senjata, gamelan, dan sebagainya): tombak -- Plered dari keraton Surakarta, gamelan -- sekati dari Sala; 6 sebutan samaran untuk harimau (jika orang melewati hutan).

Penulis membatasi diri pada pengertian sebagai alim ulama (cerdik pandai dalam agama Islam).  Namun dalam aspek historis, kiai tak hanya dipandang sebagai orang ahli agama dan sehari-hari dikelilingi para murid (santri), tetapi juga punya peran dalam aspek politis.

Kok bisa gitu, ya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun