Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sertifikat Halal Diterbitkan Kemenag, Peran MUI Apa?

17 Oktober 2019   10:38 Diperbarui: 18 Oktober 2019   15:35 1352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelaku usaha industri kecil dan menengah menerima Sertifikat Halal di Bale Asri Pusdai Jabar, Bandung, Jawa Barat, Rabu, 20 September 2017. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jabar membagikan 750 sertifikat halal bagi pelaku usaha di 27 kabupaten dan kota guna mendorong kesadaran mereka akan pentingnya sertifikasi dan standardisasi produk dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). ANTARA FOTO/Agus Bebeng

Seorang rekan penulis marah setelah membaca sekilas pemberitaan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak (punya peran) lagi menerbitkan sertifikat halal karena ke depan --sesuai undang-undang--  Kementerian Agama (Kemenag) yang berwenang menerbitkan sertifikat itu.

Mulai Kamis (17/10/2019), semua produk makanan wajib mencantumkan sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kemenag. Sertifikat halal tak lagi diterbitkan oleh MUI seperti sebelumnya.

Lalu rekan penulis yang marah itu berharap pemberitaan seperti itu harus diluruskan. Alasannya, peran MUI tetap ada meski sertifikat halal diterbitkan Kemenag melalui BPJPH. Jangan sampai ada pandang peran ulama diabaikan. Peran mereka di BPJPH sangat strategis.

Namun ia membenarkan bahwa hal itu sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang diundangkan oleh Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 17 Oktober 2014 lalu.

Jika dilihat dalam UU JPH Pasal 67 ayat 1 ditegaskan: "Kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia mulai berlaku lima tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan."

Dengan begitu, maka mulai hari ini (17 Oktober 2019), Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM MUI) tak lagi memiliki otoritas menerbitkan sertifikat hak halal. Sepenuhnya kewenangan itu berada di tangan pemerintah melalui BPJPH Kementerian Agama.

Apakah semua itu merupakan gambaran pemerintah bermaksud ingin menunjukkan diri hadir demi kemaslahatan bangsa. Lalu, peran MUI dimana?

Untuk meredakan kawan yang tengah marah, penjelasannya begini. Untuk melihat peran MUI itu, kita harus melihat tata cara penerbitan sertifikat tersebut. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) pada Bab V dijelaskan tahapan dalam penerbitan sertikat halal.

Pertama, pengajuan permohonan oleh pelaku usaha. Pelaku Usaha mengajukan permohonan Sertifikat Halal secara tertulis kepada BPJPH, dengan menyertakan dokumen: data Pelaku Usaha, nama dan jenis Produk, daftar Produk dan Bahan yang digunakan, dan proses pengolahan Produk.

Kedua, pemilihan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Di sini pelaku usaha diberi kewenangan untuk memilih LPH untuk memeriksa dan/atau menguji kehalalan produknya.

LPH adalah lembaga yang mendapatkan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. LPH bisa didirikan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. Saat ini, LPH yang sudah eksis adalah LPPOM-MUI.

LPH yang dipilih oleh pelaku usaha kemudian akan ditetapkan oleh BPJPH. Penetapan LPH, paling lama lima hari sejak dokumen permohonan dinyatakan lengkap.

Tahapan ketiga adalah pemeriksaan produk. Pemeriksaan dilakukan oleh Auditor Halal LPH yang telah ditetapkan oleh BPJPH.  Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi dan atau di laboratorium.

Pengujian di laboratorium dapat dilakukan jika dalam pemeriksaan Produk terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya.

Hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kemudian diserahkan kepada BPJPH.

Keempat, Penetapan Kehalalan Produk. BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk yang dilakukan LPH kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan Produk. Dari situ, MUI lalu menetapkan kekhalalan produk melalui sidang Fatwa Halal.

Sidang Fatwa Halal digelar paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari BPJPH.

Kelima, Penerbitan Sertifikasi. Produk dinyatakan halal oleh sidang fatwa MUI, dilanjutkan oleh BPJPH untuk mengeluarkan sertifikat halal. Penerbitan sertifikat halal ini paling lambat 7 hari sejak keputusan kehalalan Produk diterima dari MUI diterima.

BPJPH juga akan mempublikasikan penerbitan Sertifikat Halal setiap Produk. Untuk produk yang dinyatakan tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasan.

Seluruh aturan proses sertifikasi halal ini diatur dalam Peraturan Menteri Agama.

Dari situ dapat tergambar bahwa peran ulama demikian besar dalam penerbitan sertifikat halal.  

**

UU JPH telah mengatur kewenangan penerbitan sertifikat halal oleh pemerintah dalam hal ini Kemenag. Pascaberoperasinya BPJPH, kewenangan MUI tetap penting dan strategis, yaitu memberikan fatwa penetapan kehalalan suatu produk yang kemudian disampaikan kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan Sertifikat Halal.

Harus diingat bahwa  kenapa MUI mendukung pelaksanaan UU JPH.  Selain UU ini lahir atas inisiatif MUI juga dimaksudkan  untuk melindungi umat Islam dari mengonsumsi produk makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetik yang tidak halal.

Memang, sertifikasi halal di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Dimulai dari labelisasi atas produk nonhalal oleh Departemen Kesehatan tahun 1976. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No 280 tanggal 10 November 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan Pada Makanan Yang Mengandung Bahan Berasal Dari Babi.

Surat Keputusan yang ditanda-tangani Menteri Kesehatan Prof. Dr. G.A. Siwabessy ketika itu, mengharuskan semua makanan dan minuman yang mengandung unsur babi ditempeli label bertuliskan "mengandung babi" dan diberi gambar seekor babi utuh berwarna merah di atas dasar putih.

Jadi, kini semakin jelas peran MUI tetap penting dan startegis dalam pelaksanaan sertifikasi halal. Setidaknya ada 3 kewenangan dalam UU JPH, yaitu: penetapan halal, justifikasi para auditor LPH, dan akreditas LPH.

Kalau dulu LPH hanya satu, yaitu LP POM MUI, ke depan perguruan tinggi dan ormas terbuka untuk membuat LPH. BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah. Sementara mengenai ketentuan tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden.

Sekarang, jelaskan?

Rekan penulis yang terlihat tak emosi lagi itu melontarkan pertanyaan. Lalu, dengan adanya sertifikat halal dari Kemenag, apakah logo halal dari MUI diganti?

Begini. Sesuai dengan penjelasan Kepala BPJPH Kemenag, logo untuk sertifikasi produk halal yang baru diberi nama Halal Indonesia.

Logo itu diputuskan oleh Kemenkumham. Hingga kini masih tersimpan di kementerian itu. Bagi usaha atau jasa yang sudah menggunakan logo halal lama masih diperbolehkan. Setelah tiga tahun sejak peraturannya berjalan, maka harus mengganti dengan logo halal yang baru.

Dengan begitu, ke depan, makanan dan minuman yang kita konsumsi selain terjamin kehalalannya juga toyib alias lezat, baik, menyenangkan, nikmat, enak. Juga bersih dan menentramkan jiwa.

Sumber bacaan: satu dan dua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun