Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

KPI "Serakah", Ingin Jadi Lembaga Sensor?

15 Agustus 2019   06:06 Diperbarui: 15 Agustus 2019   06:20 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penggagas petisi #KPIJanganUrusiNetflix, Dara Nasution, mendatangi KPI. (Zakia Liland Fajriani/detikcom)

Sejatinya beban pengawasan yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) semakin berat dan lembaga yang "gawenya" seperti lembaga sensor itu terus berbenah dari sisi teknologi agar tidak ketinggalan dalam pengawasan konten lembaga penyiaran radio dan televisi.

Tercatat, pengawasan untuk lembaga penyiaran radio mencapai 25 radio, belum termasuk mengawasi 20 lembaga penyiaran berlangganan dari hanya lima sebelumnya. Sedangkan pengawasan untuk televisi berjaringan mencapai 16 televisi.

Menghadapi realitas seperti itu, KPI dituntut berbenah. Salah satunya dari sisi teknologi untuk pengawasan isi siaran agar tidak "kecolongan" ketika melaksanakan tugas dan fungsinya.

Bolehlah KPI berbangga karena tercatat selama tiga tahun sejak 2016 hingga 2019, jumlah sanksi KPI ke lembaga penyiaran mengalami penurunan diikuti menurunnya angka pengaduan masyarakat ke lembaga itu.

Pada 2016 jumlah pengaduan ke KPI Pusat mencapai 12.369.  Berikutnya pada 2017 (5759 aduan),  2018 (4.878 aduan). Selama Januari hingga Juni 2019 tercatat 3.170 aduan.

Yang menggembirakan, berkurangnya angka pengaduan dan sanksi ini, diikuti dengan meningkatnya kualitas isi siaran di televisi.

Kabar menggembirakan itu berdasarkan survei indeks atau yang sekarang bernama riset indeks kualitas program siaran televisi KPI. Pada 2015 hanya satu kategori program siaran yang nilainya di atas indeks atau diklasifikasikan baik yakni kategori program religi. Selebihnya, seperti program talkshow, berita, anak, variety show, sinetron, infotainment dan komedi, nilainya di bawah harapan.

Substansi sanksi yang disampaikan KPI ke lembaga penyiaran paling tinggi mengenai perlindungan anak dan remaja. Hal ini merupakan fokus utama KPI.

Beranjak dari MenyorotiKPI yang ingin memperluas pengawasannya, yaitu,  konten-konten dari media seperti YouTube, Facebook, Netflix dan media lain, terdengarnya sih bagus. Sebab, intinya pengawasan itu bertujuan agar siaran di media digital benar-benar layak ditonton serta memiliki nilai edukasi, juga menjauhkan masyarakat, termasuk anak-anak, dari konten berkualitas rendah.

Tapi apakah KPI punya hak mengawasi konten media streaming Netflix, YouTube, maupuan layanan lain yang sejenis. Di sini titik soalnya.  Sebab, dari sisi Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, KPI tak punya wewenang.

UU tersebut mengamanatkan kepada KPI untuk mengawasi televisi dan radio freksuensi publik. Ranahnya di situ. Bukan broadband seperti Netflix dan YouTube.

Tegasnya, KPI hanya untuk mengawasi konten free to air yang menggunakan frekuensi publik. Lalu, mengapa sudah merasa bebannya terlalu berat masih ingin wewenangnya lebih luas lagi.

Bukankah layanan konten digital seperti Netflix ataupun Youtube cukup diawasi atau ditindak dengan memakai UU Informasi dan Transaksi Elektronik, ataupun Undang-Undang Pornografi.

Pengawasan konten digital seperti Netflix, YouTube, atau layanan sejenisnya, harus dengan UU yang lain dan bukan dengan UU Penyiaran.

Diwartakan, KPI mewacanakan akan mengawasi konten-konten dari media seperti YouTube, Facebook, Netflix dan media lain yang sejenis. Untuk itu, perlu regulasi yang mengaturnya.

Namun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI hingga kini belum menerima draf revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dari DPR RI. Direktur Penyiaran Kominfo Geryantika Kurnia mengatakan, draf tersebut dibutuhkan sebagai payung hukum terkait rencana KPI ikut mengawasi konten di media-media baru atau streaming seperti YouTube dan Netflix.

Jika saja KPI ikut turut mengawasi konten di media-media baru atau streaming seperti YouTube dan Netflix, bisa jadi ke depan lembaga ini bekerja seperti Badan Sensor. Jika kita ingat, badan sensor itu -- yang kemudian mengubah nama menjadi lembaga sensor (film) -- realitasnya tidak sejalan dengan kebebasan (pers) mengemukakan pendapat.

Kerja LSF adalah menetapkan status edar film bioskop, film televisi, sinetron, acara televisi dan iklan di Indonesia. Sebuah film atau acara televisi hanya dapat diedarkan jika dinyatakan "lulus sensor" oleh LSF. LSF juga mempunyai hak yang sama terhadap reklame-reklame film, misalnya poster film. Selain tanda lulus sensor, lembaga sensor film juga menetapkan penggolongan usia penonton bagi film yang bersangkutan.

Sebelum 1994, LSF bernama Badan Sensor Film.

Semua pihak memang sudah menyadari bahwa penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.

Kita pun sepakat bahwa penyiaran diarahkan menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tak kalah penting, menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa.

Lantas, dalam soal pengawasan, mengapa KPI menjadi "serakah"? 

Bukankah lebih baik meningkatkan kualitas perannya yang diamanatkan UU Penyiaran. Duh, KPI!

Bahan bacaan satu dan dua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun