Dan dihadapan Abu Bakar r.a, pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat.
Kisah di atas terjadi 14 abad silam. Dan poin yang penulis ingin sampaikan dari kisah mengharukan tersebut bahwa pengemis hadir di tempat keramaian, pengemis hadir di pinggir jalan dan pengemis minta diberi perhatian sudah lama terjadi dan berlangsung hingga kini.
Pengemis hadir di tempat-tempat tersebut meminta demi mendapat perhatian dan kelangsungan hidup dari orang-orang yang beruntung.
Realitas di masyarakat kita, tak selamanya pengemis bernasib seperti pengemis Yahidi buta tersebut. Justru dengan kekurangan fisiknya, ternyata pengemis lebih baik dan sejahtera hidupnya dari kebanyakan orang.
Ingat siaran televisi yang menayangkan seorang pengemis cacat tertangkap petugas sosial tengah membuka mobil pribadinya. Ingat berita pengemis punya penghasilan puluhan juta dari hasil memina di jalan raya.
Penulis pun pernah menyaksikan seorang pengemis menekuk kakinya dan duduk di tengah jalan meminta. Pada kesempatan lain penulis menyaksikan pengemis bersangkutan menyengajakan diri menekuk kaki dan memasukan ke telana panjang, yang sepintas jika tak teliti, bahwa ia telah berpura-pura punya cacat dan minta dikasihani warga yang lalu lalang.
Jadi, sungguh dilematis. Karena itu ketika Kepala Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan Ahmad Dumyani mengimbau masyarakat tidak memberi sedekah kepada pengemis musiman dan manusia gerobak yang mulai bermunculan pada Ramadan ini, hati kita jadi terbelah: antara kasihan dan jengkel.
Kasihan lantaran menyaksikan fisik dan tampilan. Merasa jengkel karena kita pun bisa ditipunya. Mau sedekah pun berawal ingin menjadi manusia ikhlas ternyata berbalik arah, merasa jengkel.
Pengemis berkedok memang sering mengecoh dan mengelabui kita. Tapi, sungguh elok bila pemerintah melakukan aksi nyata memberi perhatian kepada para pengemis yang betul-betul hidup dalam kesusahan.
Coba perhatikan, kala kita berziarah ke sebuah pemakaman di Jakarta Utara, dijumpai para pengemis tak pernah mendapat sentuhan pembinaan dari dinas sosial. Kita tak ingin perhatian sebatas imbauan, tapi realisasi nyata. Patutnya memberi kail ketimbang menyuguhkan ikan kepadanya.
Selamat Jalani Puasa Ramadan.