Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengolok-olok Ulama

8 Februari 2019   04:25 Diperbarui: 8 Februari 2019   15:18 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Ustaz Dudung, di Masjid At Taubah, tengah memberi tausiyah. Foto | Dokpri

Kamis malam ini penulis sedih. Bukan lantaran tertimpa musibah, bukan pula tidak punya duit atau pun tidak mendapat kiriman bantuan uang dari anak tercinta. Apa lagi ada yang menyakiti. Penulis tak punya musuh.

Betul, penulis sudah pensiun. Toh, pensiun bagi penulis sangat disukuri. Kini beban pekerjaan sudah ditinggalkan dan toh semua dapat dijalani dengan gembira. Tapi, mengapa harus bersedih pada malam Jumat ini. Ada genderuwo kah yang datang?

Bukan itu penyebabnya. Genderuwo bukan bagian dari penyebab penulis jadi sedih. Mahluk itu cukup sudah jadi bahan mainan para politisi.

Begini. Usai shalat magrib tadi, ustaz di masjid di dekat kediaman penulis menggelar pengajian rutin. Sekali ini ia memberi tausiyah seusai memberi penjelasan tentang Surat Maryam ayat 59 -- 63. Tak banyak yang dijelaskan. Sang ustaz yang bermukim di pinggiran Jakarta ini memberi penjelasan secara singkat dan padat.

Tidak perlu nama ustaz disebut di sini. Namun terkait dengan konteks penjelasan itu, ia sedikit melebar bicara. Utamanya menyangkut pentingnya umat menjaga adab dan etika ketika berbicara yang bersinggungan dengan ulama. Apakah berbiara di media televisi, suratkabar dan media sosial. Lantas, ia mengaku sedih ketika ulama diolok-olok.

Di tahun politik, terlebih pada momentum pilpres yang tengah berlangsung, ulama banyak didatangi umat. Dalam kaitan pelayanan kepada umat yang meminta doa, tentu ada kewajiban bagi ulama untuk menyampaikan doa.

Nah, jika terjadi ulama salah menyebut nama dalam berdoa kemudian diolok-olok, menurut sang ustaz tadi, sungguh hal itu sebagai perbuatan tidak elok. Ulama berkewajiban berdoa bagi umat, apakah momentumnya di tahun politik atau pun diluar event pilpres.

Kala ulama wafat, sebut dia, dunia ini terasa gelap. Pasalnya, umat kehilangan "cahaya" dan bimbingan menuju ridho Allah. Gelap yang dimaksud bukan lantaran matahari tak bersinar, tetapi umat kehilangan panduan dan panutan. Lagi pula, kala ulama wafat belum tentu 100 tahun ke depan akan hadir di permukaan bumi ulama 'mumpuni'.

Dewasa ini, sebutnya lagi, ulama 'mumpuni' makin langka. Sebab, mencetak ulama tidak sama dengan melahirkan seorang berpendidikan tinggi. Gelar akademik dapat diperoleh dengan perjuangan 'all out' lantas diberi gelar guru besar. Profesor. Mencetak ulama tidak seperti itu. Ia terlahir melalui proses 'berat' namun tetap dalam bimbingan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Berkehendak.

Ulama 'mumpuni' tak tergiur dengan kekuasaan. Juga tak tergoda ketika melihat wanita cantik. Apalagi harta. Ia selalu mendekatkan diri dan tak mengharapkan imbalan ketika memberi tausiyah. Mengajar santrinya tak berharap bayaran, tetapi semua dilakukan penuh ikhlas. Semua dilakukan karena semata berharap ridho Allah.

"Biar yang ikut mengaji satu orang, tetap berjalan. Ridho Allah semata dan ikhlas itu yang penting," ia menegaskan.

Realitasnya, di media sosial, dijumpai ulama seperti "main sikut", berakrobat dalam mengeluarkan kata-kata tajam. Ada yang manis kalimatnya. Ada pula menghentak telinga kata-katanya. Ada yang saling menjelekan hingga berurusan dengan pihak berwajib. Kita berharap, ulama tampil kedepan memberi kesejukan.

Sayangnya, umat kini seperti tengah kehilangan ulama. Bisa jadi, karena ulama yang diharapkan umat itu baru hadir di bumi pertiwi 100 tahun ke depan. Itulah yang membuat sang ustaz dan penulis menjadi sedih. Apa lagi ada umat -- yang seharusnya dapat memberi contoh -- malah mengolok-olok ulama.

Sesungguhnya, kalau bukan kita yang menghormati ulama, lantas siapa yang paling pantas membacakan doa kepada dirinya setelah ajal menjemput.

Ingat! Ulama adalah garda terdepan yang memiliki otoritas memberikan kesejukan kepada umatnya.  Karena otoritasnya itu, banyak ulama telah memberi kontribusi positif bagi negeri tercinta ini. Maka, hindarilah mengolok-olok ulama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun