Dulu, di Pasa Dahlia, Pasar Parit Besar, Pasar Kemuning, Pasar Mawar, hingga Pasar Flamboyan jangan coba-coba menyinggung nama Krismon ketika berbelanja. Apa lagi kepada pedagang ikan dan kemudian bertanya tentang penyebab harga-harga naik.
"Sekali lagi sampeyan tanyakan penyebab harga naik, tak bunuh. Kamu pasti temannya Krismon, ya?" sambil mengacungkan golok mengkilap ke arah pembeli.
Beruntung penulis menunjukan sikap tenang. Jika saja menunjukan rawut muka 'galak', memberi perlawanan, boleh jadi benda yang biasa memotong ikan segar digunkanannya untuk memotong lidah penulis yang dianggapnya kurang ajar.
"Pedagang di sini sudah tahu. Harga naik, semua belanjaan yang dijual, disebabkan si Krismon. Kamu, belanja di sini, bukan temannya Krismon?" Bibi, pedagang ikan itu melanjutkan pertanyaan dengan suara keras disaksikan rekan-rekannya yang juga terlihat kesal kepada penulis.
Itulah pengalaman penulis ketika berbelanja di sejumlah pasar tradisional kota Pontianak. Di kota 'hantu' ini, saat itu, ikan adalah makanan primadona bagi warga kota. Makan tanpa ikan sama dengan tidak makan. Makan harus didampingi dengan lauk ikan segar.
Bila sehari tidak makan ikan, itu artinya sama dengan tidak makan seharian. Karenanya, dulu, orang yang tidak suka makan ikan sungai dan laut dapat dikelompokan sebagai orang pendatang. Apa lagi bila orang pendatang itu cuma makan ikan lele, yang bersangkutan dapat dikategorikan orang yang sangat miskin.
Lalu, apa hubungannya dengan Krismon hingga pedagang ikan di kota tersebut demikian jengkel. Merasa kesal jika berbicara kenaikan harga kemudian dikaitkan dengan Krismon.
Ini tak lain karena pemahaman saja yang tidak tepat. Bisa jadi ada pihak yang sengaja menyebarkan informasi menyesatkan yang kemudian kata Krismon oleh pedagang dipahami seperti manusia, mungkin gadis molek yang turun dari Pegunungan Putussibau di pedalaman Kalimantan Barat.