Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[BeCak] Krismon dan Pedagang Nyinyir

15 September 2018   14:50 Diperbarui: 15 September 2018   15:48 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tempe dan tahu di Pasar Kramat Jati, belum setipis ATM. Foto | Dokpri

Dulu, di Pasa Dahlia, Pasar Parit Besar, Pasar Kemuning, Pasar Mawar, hingga Pasar Flamboyan jangan coba-coba menyinggung nama Krismon ketika berbelanja. Apa lagi kepada pedagang ikan dan kemudian bertanya tentang penyebab harga-harga naik.

"Sekali lagi sampeyan tanyakan penyebab harga naik, tak bunuh. Kamu pasti temannya Krismon, ya?" sambil mengacungkan golok mengkilap ke arah pembeli.

Harga cabe stabil. Foto | Dokpri
Harga cabe stabil. Foto | Dokpri
Penulis juga mengalami hal yang sama. Ditunjuk-tunjuk oleh seorang pedagang asal Pulau Garam. Jika saja penulis melanjutkan pertanyaan mengapa si Bibi - sapaan akrab bagi pedagang perempuan di kawasan kota Pontianak - bisa jadi golok melayang.

Beruntung penulis menunjukan sikap tenang. Jika saja menunjukan rawut muka 'galak', memberi perlawanan, boleh jadi benda yang biasa memotong ikan segar digunkanannya untuk memotong lidah penulis yang dianggapnya kurang ajar.

"Pedagang di sini sudah tahu. Harga naik, semua belanjaan yang dijual, disebabkan si Krismon. Kamu, belanja di sini, bukan temannya Krismon?" Bibi, pedagang ikan itu melanjutkan pertanyaan dengan suara keras disaksikan rekan-rekannya yang juga terlihat kesal kepada penulis.

Itulah pengalaman penulis ketika berbelanja di sejumlah pasar tradisional kota Pontianak. Di kota 'hantu' ini, saat itu, ikan adalah makanan primadona bagi warga kota. Makan tanpa ikan sama dengan tidak makan. Makan harus didampingi dengan lauk ikan segar.

Bila sehari tidak makan ikan, itu artinya sama dengan tidak makan seharian. Karenanya, dulu, orang yang tidak suka makan ikan sungai dan laut dapat dikelompokan sebagai orang pendatang. Apa lagi bila orang pendatang itu cuma makan ikan lele, yang bersangkutan dapat dikategorikan orang yang sangat miskin.

Harga sayuran, juga stabil. Foto | Dokpri
Harga sayuran, juga stabil. Foto | Dokpri
Dulu, di Pontianak, jika anda sering mengonsumsi ikan lele, oleh warga setempat dinilai masuk kelompok warga prasejahtera. Lagi pula, pada awal tahun 1980-an, di sejumlah pasar ikan tak pernah dijumpai orang menjual ikan lele segar (hidup). Tapi, jangan tanya sekarang, pedagang pecel lele di pinggir jalan sudah banyak. Bisa jadi hal itu disebabkan banyaknya warga dari berbagai daerah bermukim di Pontianak.

Lalu, apa hubungannya dengan Krismon hingga pedagang ikan di kota tersebut demikian jengkel. Merasa kesal jika berbicara kenaikan harga kemudian dikaitkan dengan Krismon.

Ini tak lain karena pemahaman saja yang tidak tepat. Bisa jadi ada pihak yang sengaja menyebarkan informasi menyesatkan yang kemudian kata Krismon oleh pedagang dipahami seperti manusia, mungkin gadis molek yang turun dari Pegunungan Putussibau di pedalaman Kalimantan Barat.

Ikan bandeng pun masih terjangkau dibeli. Foto | Dokpri
Ikan bandeng pun masih terjangkau dibeli. Foto | Dokpri
Penulis menyadari bahwa ketika konflik berlangsung ada pihak tertentu yang menyebarkan informasi menyesatkan. Bisa jadi hal itu disebut disinformasi dengan tujuan menyesatkan pedagang dan kebencian kepada kalangan tertentu. Namun bisa pula disebabkan misinformasi karena ketidaktahuan dari pedagang itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun