Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nasib Pedagang Gulali Tidak Pernah Manis

12 Juli 2018   21:45 Diperbarui: 13 Juli 2018   12:05 2520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedagang gulali dikelilingi anak kecil. Foto | Dokpri

Sejak zaman old hingga generasi now, nasib pedagang gulali tidak pernah manis. Penulis merasa kaget ketika menyaksikan pedagang gulali keliling kampung masih disukai para bocah cilik.

Hari gini masih ada pedagang keliling gulali? Gitu kira-kira yang ada di benak penulis ketika menyaksikan anak kecil jongkok mengelilingi pedagang gulali berusia kisaran 50 tahun.

Dari tampilan fisik, mudah diduga bahwa pedagang itu bermodalkan "Senin-Kemis" alias di bawah kelayakan. Mungkin sekitar Rp50.000 untuk membeli gula merah ke hitam-hitaman. Terpenting, ia bisa memainkan gula yang telah dipanaskan dan dibentuk mainan kesukaan si bocah. Maka, jadilah dagangan yang telah dibentuk itu lalu dijual per buahnya Rp1.000.

Dokpri
Dokpri
Bagi anak-anak, harga itu tentu sangat terjangkau. Selain itu, mereka terasa terhibur. Apa lagi dalam kreativitas membentuk mainan dari gula tersebut melibatkan peran serta anak-anak. Anak-anak yang hendak membeli diajari meniup gulali dalam bentuk balon, setelah balon bolong, tiupan dihentikan. Lantas, dari bagian yang bolong lalu dimasukan susu kaleng kental.

Kadang, dibentuk burung-burungan. Ada bagian yang bolong dan ketika ditiup mengeluarkan bunyi. Wah, senang deh para bocah di sekeliling tukang gulali itu.

Sebelum disantap, para bocah menunjukan hasil karnyanya kepada rekan-rekannya. Setelah merasa puas, barulah gulali yang dilekatkan di sebatang lidi disantap dengan cara menjilat-jilat.

Menyaksikan seperti ini, jadi ingat, zaman dulu anak-anak banyak menjilat permen gulali. Tapi, kini, anak-anak banyak menjilat-jilat es krim. Cara menjilat tak mengalami perubahan. Hehehe yang membedakan hanya makanan yang hendak dikonsumsi itu.

Di zaman now, lagi-lagi pertanyaan yang muncul, kok masih ada ya pedagang keliling ginian. Bukankah anak-anak sekarang gemar bermain gawai atau peralatan modern lainnya seperti lego, kartun yang mudah diakses melalui smartphone.

Jadi, pedagang gulali ini tampaknya masih mampu bertahan di tengah terpaan kemajuan zaman. Secara tidak langsung, ia pun telah memberi pembelajaran, khususnya dari unsur kreativitas kepada anak. Membeli gulali tak sekedar membeli mainan yang kemudian dapat dikonsumsi, tetapi juga merukunkan sekelompok anak ketika mereka mengelilingi pedagang gulali.

Pedagang gulali, yang dijumpai penulis di kawasan pinggiran Jakarta ini, mampu bertahan hingga kini lebih disebabkan keterpaksaan. Lahan lapangan kerja makin sempit, selain ia memang tak punya keterampilan lain. Ya, jadilah pedagang gulali yang bernasib tak sebagus manisnya gula yang dijualnya itu.

Gulali memang merupakan salah satu makanan tradisional khas Indonesia yang cukup populer pada masanya. Kala penulis masih bocah pun (belum banyak permen atau lollipop kemasan seperti sekarang ini) gemar dengan gulali yang dijual oleh pedagang keliling.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun