Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Syekh Kuala, Mubalig Ini Tak Pernah Minta Didaftar

22 Mei 2018   20:43 Diperbarui: 22 Mei 2018   22:46 2693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah apa kaki ini tiba-tiba melangkahkan ke makam Syaikh Abdur-Rauf As-Singkeli, atau pupuler di zaman 'now' Syaikh Kuala, seorang mubaligh terkenal di Aceh.

Beberapa tahun lalu, penulis bersama seorang rekan, warga Aceh, ditemani berziarah sambil menikmati keindahan kota setempat. Decak kagum muncul dalam hati karena pemerintah setempat begitu besar memperhatikan seorang tokoh, bisa juga sebagai guru dan penjaga "pintu gerbang" akhlak bagi masyarakat di zamannya.

Perhatian tersebut setidaknya terlihat dari masjid yang dibangun di dekat makam, fasilitas bagi para peziarah dan secara rutin menyelenggarakan haul atau peringatan tahunan bagi ulama besar di Aceh ini.

Aku di Makam Syaikh Kuala. Foto | Dokpri
Aku di Makam Syaikh Kuala. Foto | Dokpri
Syaikh Abdur-Rauf Abdur Rauf Singkel, dengan nama panjang Syekh Abdur Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili, lahir di Fansur, lalu dibesarkan di Singkil pada awal abad ke-17 M. Ayahnya adalah Syeh Ali Fansuri, yang masih bersaudara dengan Syeh Hamzah Fansuri.

Mubaligh ini banyak melahirkan karya yang tidak lepas dari perhatian umat. Ia pun banyak membantu umat memahami Islam dengan lebih baik lagi, menasehati mereka supaya tidak tertimpa musibah, memperteguh kesalehan dan menghindarkan mereka dari tindakan yang salah.

Berbagai karya intelektual dan juga karya sastra berbentuk syair, banyak di antaranya yang masih tersimpan sampai sekarang.

Secara umum, Syaikh Abdur Rauf mengajarkan harmoni antara syariat dan sufisme. Dalam karya-karyanya terlihat ia menyatakan bahwa tasawuf harus bekerja sama dengan syariat. Hanya dengan kepatuhan yang total terhadap syariat-lah maka seorang pencari di jalan sufi dapat memperoleh pengalaman hakikat yang sejati.

Bersama penjaga makam. Foto | Dokpri
Bersama penjaga makam. Foto | Dokpri
Para sejarawan memperkirakan Abdul Rauf lahir pada tahun 1615 M. Dan dari berbagai laman disebut, mubaligh ini selama hidupnya banyak menimba ilmu. Ia selama 19 tahun belajar ilmu keagamaan, terasuk tasawuf di Timur Tengah di bawah bimbingan para guru termasyhur di Madinah.

Di kota Nabi Muhammad SAW itu, Madinah, Abdul Rauf belajar kepada khalifah (pengganti) dari tarekat Syattariyah, yaitu Ahmad Kusyasyi dan penggantinya, Mula Ibrahim Kurani. Dalam kata penutup salah satu karya tasawufnya, Abdur Rauf menyebutkan guru-gurunya. Data yang cukup lengkap tentang pendidikan dan tradisi pengajaran yang diwarisinya ini merupakan data pertama tentang pewarisan sufisme di kalangan para sufi Melayu.

Penjelasan tentang makam di sisi masjid. Foto | Dokpri
Penjelasan tentang makam di sisi masjid. Foto | Dokpri
Penulis bukanlah ahli sejarah, namun dari beberapa penjelasan pemandu makam disebut bahwa Abdul Rauf sepeninggal Ahmad Qusyasyi, Abdur Rauf memperoleh izin dari Mula Ibrahim Kurani untuk mendirikan sekolah di Aceh.

Nah, sejak 1661 hingga hampir 30 tahun berikutnya ia mengajar di Aceh dengan jumlah murid berasal dari penjuru Nusantara.

Ia punya pandangan sejalan dengan pandangan Sultan Taj Al-'Alam Safiatun Riayat Syah binti Iskandar Muda (1645-1675). Bisa jadi karena pandangannya itu Abdur Rauf diangkat menjadi Syeikh Jamiah al-Rahman dan Mufti atau Kadi dengan sebutan Malik al-Adil, menggantikan Syeh Saif Al-Rijal yang wafat tidak lama setelah ia kembali ke Aceh. 

Di bulan suci Ramadan ini, dari paparan tersebut, kita dapat memetik pelajaran bahwa seorang ulama kemuliaan dan kebesarannya di tengah masyarakat sangat ditentukan dari kedalaman kualitas ilmu dan keteladanannya di masyarakat.

img-4140-lima-jpg-5b041dd1ab12ae356b331024.jpg
img-4140-lima-jpg-5b041dd1ab12ae356b331024.jpg
Syaikh Abdul Rauf tidak mengejar pengakuan dari penguasa akan kehebatan ilmu yang dimiliki, tetapi justru penguasalah menghendaki dukungannya. Ulama dan umara, memang, dalam kehidupan harus saling melengkapi. Ibaratnya, seperti air dan ikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun