Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tim Kemenag Tidak Bermaksud Bikin "Blunder" Lagi

20 Mei 2018   23:45 Diperbarui: 21 Mei 2018   14:01 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menag Lukman Hakim Saifuddin. Foto | Kemenag.

Ibarat bermain bola, kesebelasan Kemenag gagal melaju ke semi final. Tim ini dipermalukan lantaran membikin 'blunder'. Gol semata wayang yang diharapkan lahir di babak semi final jelang berakhirnya Kabinet Kerja, malah kemasukan gol 200 penceramah (dai/mubaligh) yang kemudian membingungkan umat.

Jika saja Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin 'jeli' dan mampu menggunakan instrumen sepakbola, maka bola yang dimainkan rekan-rekan kerjanya harus dibaca dengan cermat. Andai saja bola diarahkan ke pemain gelandang, setidaknya sudah diperhitungkan kepada siapa bola dimaksud diarahkan, pada posisi apa rekannya saat itu dan bagaimana jika tembakan jarak jauh sesekali dihunjamkan ke gawang lawan.

Jika saja Bapak Lukman Hakim Saifuddin menempati posisi sebagai penjaga gawang, maka dari jarak jauh pun sesungguhnya sudah dapat dibaca. Arah bola tidak selalu langsung diarahkan ke mulut gawang. Kadang, untuk melahirkan sebuah gol kemenangan tentu ada proses. Faktor keberuntungan dalam permainan ini kadang memihak, tetapi tentu itu tidak selalu lahir begitu saja. Ada kerja keras dan soliditas tim kerja.

Dalam bahasa agama, doa dan upaya harus sinergi. Berjalan satu iringan dan irama.

Tim Kemenag kini membuat 'blunder'. Bisa jadi karena "input" dari pemain kepada kapten tim dan pelatihnya tidak melalui proses yang matang. Apa lagi atmosfirnya tengah dirindukan, tim ini pada bulan suci Ramadan tengah dinanti dapat meraih kemenangan.

Lahirnya gol berupa rilis 200 nama mubaligh akan berpotensi menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat. Meski Pak Menag ini menyatakan bahwa hal itu tidak dimaksudkan untuk memilah-milah mana penceramah yang boleh berceramah dan mana yang tidak boleh berceramah.

Daftar nama mubaligh itu dalam rangka menjawab pertanyaan masyarakat terkait muballigh yang bisa berceramah, baik di mushola, masjid dan tempat pengajian lainnya.

Para dai itu, pandangan tim Kemenag, telah mumpuni secara mendalam dan luas tentang substansi ajaran Islam. Memiliki pengalaman dan punya komitmen terhadap kebangsaan.

Jika saja rilis 200 nama penceramah yang disebutkan itu masih berisfat dimanis, kemungkinan akan bertambah terus, maka publik pun patut melemparkan pertanyaan kepada tim kementerian itu. Tim Kemenag harus punya 'nyali' pula mengumumkan mubaligh yang berseberangan. Punya sikap kritis. Sekurangnya tidak mumpuni dan tidak memiliki komitmen terhadap kebangsaan.

Jika saja mubaligh atau dai punya sikap kritis terhadap pemerintah dirilis dengan jumlahnya berapa banyak, bisa jadi kementerian ini menambah kerjaan tentunya.

Publik kini belum merasa puas dengan jawaban kapten kesebelasan tim kementerian itu. Pasalnya, - jelang Pilkada dan Pilpres - sudah ada ulama dengan tegas memang berafiliasi ke partai tertentu. Namun di sisi lain ada ulama kampung, tak punya nama besar tetapi berakar rumput. Bukan rumput lapangan sepakbola, loh, tetapi masyarakat kecil karena ia tidak komersial dan jauh dari kepentingan.

Dulu ada wacana dai atau mobaligh diharapkan ikut program sertifikasi. Mencontoh seperti yang diterapkan di beberapa negara Timur Tengah. Langkah ini senyap begitu saja.

Sertifikasi awalnya diyakini dapat berguna untuk membuktikan seorang dai mempunyai kompetensi lebih. Baik dalam hal penghafalan Alquran, pengertian Hadist, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Sehingga saat seorang dai mempunyai sertifikat untuk menyampaikan ilmu kepada jamaah, lembaga manapun bisa lebih mempercayai dai tersebut karena dia telah mempunyai sertifikasi yang terpercaya.

Sayangnya, sertifikasi  belum menjadi hal yang wajib dimiliki dai. Pasalnya, jamaah atau lembaga yang bersangkutan termasuk pemerintah menilai sertifikasi ini tidak banyak berpengaruh.

Lantas muncul usulan, perlu dibuat kode etik bersama dalam berdakwah. Usulan ini memang awalnya dirasakan penting supaya para mubaligh dalam dakwanya dapat menyejukan umat. Bukan perpecahan.

Dakwah sambil menuduh golongan lain di luar golongannya merupakan ceramah tidak sehat. Hal itu harus dihindari oleh para pendakwah ajaran agama Islam. Juga dakwah yang menyebut di luar agamanya adalah kafir, adalah sangat tidak pantas. Sebab, ajaran Islam adalah rahmatan lil alamin.

Lantas, siapa yang harus membuat kode etik. Ormas kah, atau pihak kemenag?

Penulis merasa yakin bahwa rilis 200 mubaligh atau dai berawal dari niat baik. Tapi, momentumnya tidak tepat. Ke depan bisa jadi 'gorengan' isu politik baru. Tataran kebijakan bolah jadi bagus, tetapi implementasi kebijakan itu dibutuhkan sebuah proses dan waktu.

Penting dibangun kesadaran bahwa dai atau mubaligh adalah orang yang kerjanya berdakwah; pendakwah: melalui kegiatan dakwah. Mereka ini bertugas menyebarluaskan ajaran agama. Tentu kesadaran menghindari pengotakan mubaligh harus terpelihara terus..

Karenanya, daripada ribut berkepanjangan, sejak dini ormas Islam dan ulama segera menemui Menag dan membicarakan lebih lanjut.

 Sebab, bila hal itu berlanjut, apa lagi sosialisasinya 'lemah', tidak mustahil tim kesebelasan kementerian itu akan membuat 'blunder' lagi.  Semua pihak tentu sepakat bahwa hal itu perlu dihindari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun