Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar "Ngelmu" di Pedalaman Kalimantan Barat

17 Mei 2018   21:06 Diperbarui: 17 Mei 2018   22:46 893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wajah ibukota Kalimantan Barat, Pontianak, kini makin cantik. Lihat alun-alun Sungai Kapuas di Pontanak ini. Foto | Wisata Pontianak.

Sudah satu pohon pisang mati tanpa permisi. Kuhajar pohon segar yang disayangi Tuhan itu tanpa alasan. Belum puas? Rerumputan di halaman luas di kawasan Ngabang, Kalimantan Barat, itu jadi sasaran. 

Kuhunjamkan tinju ke permukaan bumi. Tanah pun mengering dan rumput yang semula  kupandangi elok nan hijau berubah gersang. Hati bergejolak. Tapi tangan tak kuasa menahan beban panas. Kukepret jari tangan bekas ditaburi air keras, pagar seng bangunan proyek jadi sasaran. Terkena cipratan air keras dari tangan, ya tentu bolonglah.

Lengan ke dua tangan masih terasa panas. Sang guru memerintahkan kepada diriku untuk meminta ampunan kepada Sang Pencipta. Aku telah membuat kesalahan, tidak mengindahkan petuah. Aku telah menganiaya dan membuat kerusakan di muka bumi.

Sang guru memerintahkan diriku untuk mengulangi proses pendalaman "ngelmu" kesaktian. Kedua tangan kembali diguyur air keras dan tumbukan cabe rawit yang beratnya kurang lebih satu kilogram.

Lagi. Kembali tangan makin panas. Petuah harus diindahkan. Tak boleh rasa panas disalurkan ke permukaan bumi, atau pun menghunjamkan pukulan ke pohon pisang seperti semua. Semua harus dijalani sambil membayangkan diri betapa kecil diri ini di hadapan Tuhan.

Tidak ada kekuatan, kecuali semua itu milik-Nya. Karenanya, sambil menikmati rasa sakit yang demikian dahsyat, hati harus terus menerus diarahkan kepada Sang Khalik bahwa semua kekuatan di permukaan bumi adalah milik-Nya juga.

**

Belajar "ngelmu" seperti itu memang tidak dibenarkan dilakukan di muka publik, apa lagi terbuka dan disaksikan banyak orang. Apa lagi saat itu, mulai 1995 - 2001, di bumi Kalimantan Barat, tengah penuh diwarnai pertikaian antaretnis. Di sana ada kelompok 'kamu' dan di sini ada kelompok 'saya', semua seperti tengah mempersiapkan diri untuk bertarung dan dibenturkan suatu saat.

Apa pun profesinya: tentara, polisi, kuli bangunan, penjaga toko hingga pengusaha dari tiap etnis sepertinya belajar ilmu bela diri secara sembunyi-sembunyi. Meski pada saat itu sudah banyak orang mempelajar  ilmu silat, karate, yudo dan lainnya tetapi terasa tidak laku. Orang tidak tertarik.

Apa pasal? Ya, karena yang dihadapi dunia 'mistik'. Sebutan panglima burung saat itu demikian melegenda. Orang bisa terbang yang sulit ditangkap nalar sangat dipercayai. Demikian pula daya penciuman masyarakat pedalaman terhadap etnis yang dimusuhi terasa demikian nyata di depan mata.

Wuih. Kalau nggak belajar "ngelmu" pasti diri tak bakal selamat. Bukankah menjaga diri itu wajib, demikian ungkapan warga pesisir ketika mereka tengah belajar kanuragan, yaitu ilmu yang mencakup kemampuan bertahan (kebal) terhadap serangan dan kemampuan untuk menyerang dengan kekuatan yang luar biasa.

**

Memenuhi persyaratan admin SaatnyaKalimantan dan KabarDariSeberang ini, maka bila dipetakan pertikaian antaretnis di wilayah ini seperti segitiga sama kaki. Kadang etnis Dayak vs Madura, kadang etnis Madura vs Melayu atau Melayu vs Dayak. Penulis lupa, pada tahun kapan ketiga etnis tersebut saling berhadapan. Seingat penulis, kala masuk di Pontianak awal 1995 -- saat jalan raya sepi dan jumlah mobil yang lewat masih dapat dihitung dengan jari - terjadi pertikaian antaretnis Dayak vs Madura.

Hampir semua kabupaten/kota di wilayah provinsi khatulistiwa itu bergejolak. Mungkin hanya Kabupaten Ketapang dan Kapuas Hulu saja rada senyap. Sering penulis menjumpai mayat secara tak sengaja dengan kondisi tubuh memilukan.

Tapi penulis merasa bersyukur, meski manajemen di kantor pusat tempat penulis bekerja tidak memperhatikan kesulitan yang dihadapi penulis dan nasib anggota keluarga para staf di sana, Tuhan melindungi kami.

Bahkan, ketika bekerja dan turun ke lapangan, siapa pun etnisnya dapat menerima kami dengan lapang dada dan memberikan dukungan. Dan, setelah direnungkan, "ngelmu" di provinsi yang luasnya hampir tiga kali pulau Jawa itu bukan mengahantarkan diri untuk mencari lawan. Perasaan diri justru semakin merendah di hadapan orang banyak.

"Itu bukan ilmu membela diri, tetapi ilmu menjaga diri," demikian pesan sang guru yang ternyata belakangan diketahui adalah seorang tokoh di Kalimantan Barat.

Konflik antaretnis mereda awal 2001. Banyak pengalaman dipetik penulis di daerah ini. Masih banyak warga di sana yang saya kenal dan sekarang salah satunya sudah menjadi gubernur. Ada pula di antaranya menjadi pengusaha plus anggota terhormat di legislatif, Gedung Komplek Parlemen Senayan Jakarta.  

Kata orang yang bermukim di tepi Sungai Kapuas, jika tinggal di Kalimantan Barat dan meminum airnya, maka yang bersangkutan akan kembali ke daerah itu lagi. Benar. Saya pun menjadi sering ke kawasan itu.

Coba perhatikan lirik lagu ini:

Aek Kapuas

Hei sampan laju

Sampan laju dari ilir sampai ke ulu

Sungai Kapuas

Sunggoh panjang dari dolo' membelah kote

Hei tak disangke

Tak disangke dolo' utan menjadi kote

Ramai pendudoknye

Pontianak name kotenye

Sungai Kapuas punye cerite

Bile kite minom ae'nye

Biar pon pegi jauh ke mane

Sunggoh susah na' ngelupakannye

Hei Kapuas

Hei Kapuas

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun