Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jalan Lain Selain Hukuman Mati di Arab Saudi

20 Maret 2018   14:11 Diperbarui: 20 Maret 2018   15:54 1968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Syeikh Ibrahim Al-Juffali yang oleh warga Indonesia dikenal sebagai Masjid Qisas. Foto | dream.co.id

Zaini Misrin, seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Madura, telah dieksekusi mati oleh Pemerintah Arab Saudi pada Minggu (18/3/2018) dan kita menyayangkan bahwa eksekusi tersebut dilakukan tanpa pemberitahuan resmi lebih dulu kepada Pemerintah Indonesia.

Kita, di Tanah Air, terkejut mendapat informasi tersebut. Padahal, ada kesepakatan, jika terjadi eksekusi lagi, maka pihak Arab Saudi akan memberi notifikasi melalui perwakilan negara di Riyadh maupun Jeddah.

Kasus yang menimpa Mochammad Zaini Misrin asal Desa Kebun, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur itu jelas menambah daftar panjang tenaga kerja Indonesia dihukum mati di Negara Petro Dolar itu. Entah yang sudah berapa kali, karena pihak otoritas di negeri itu tak memiliki catatannya.

Direktur Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal menyebut, padahal hubungan Indonesia dan Arab Saudi selama ini berjalan baik. Karena itu ia merasa heran dan kaget mengapa pemerintah Arab Saudi tak memberi notifikasi kepada pemerintah Indonesia terlebih dulu.

Jauh sebelumnya, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya guna membebaskan Zaini Misrin dari hukuman sejak 2004. Melalui kuasa hukumnya, telah dua kali dilakukan permohonan peninjauan kembali (PK), awal 2017 dan akhir Januari 2018. Tapi, semua itu sia-sia.

Mochammad Zaini Misrin atau biasa dipanggil Zaini merantau ke Arab Saudi untuk bekerja sebagai sopir pribadi mulai 1992. Ia sempat pulang kampung dan kembali ke negara tesebut pada tahun 1996 dan tetap kerja pada majikan yang sama, Abdullah bin Umar Muhammad Al Sindy.

Lalu, Misrin dilaporkan anak kandung korban kepada aparat kepolisian setempat. Setelah ditahan kurang lebih empat tahun, Misrin divonis hukuman mati qisos pada 17 November 2008. Qisos berarti memberi hukuman setimpal.

Kini pihak keluarga Zaini Misrin mengaku sudah ikhlas atas tindakan pemerintah Arab Saudi. Kemlu RI telah menyatakan kasus ini sudah ditutup.

**

Beberapa tahun silam, ketika Muhammad Maftuh Basyuni masih menjabat sebagai Ketua Satgas TKI, penulis sering berbincang-bincang mengenai nasib TKI yang dijatuhi hukuman mati. Maftuh adalah mantan Menteri Agama dan mendapat kepercayaan sebagai ketua Satgas TKI pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid II.

Banyak suka dan duka kala ia berupaya membebaskan para TKI. Mulai mendatangi TKI di berbagai penjara di Arab Saudi hingga mengunjungi anggota para keluarga korban. Ia berupaya melobi pejabat dengan berbagai cara, menemuinya di masjid dan mendatangi tokoh berpengaruh.

Pada dasarnya hukuman di Kerajaan Saudi Arabia adalah yang dibunuh harus dibunuh pula. Ini terkait dalam kasus pidana. Di negeri ini tidak dikenal seorang yang dibunuh lantas pelakunya dapat terbebas dari hukuman dibunuh.

Seseorang yang membunuh hukumnya harus dibunuh. Ini prinsip. Tidak ada satu pihak mana pun --termasuk raja sekali pun, yang dapat membebaskan hukuman itu. Grasi tidak dikenal.

Namun ada satu jalan yang diberikan dalam syariah, yaitu pintu pemaafan. Dalam hal ini keluarga korban yang memiliki otoritas atau kewenangan. Salah satu contoh Zaenab yang sudah dieksekusi lantaran membunuh isteri majikannya.

Dan seluruh anggota keluarga tidak memberikan maaf kepada Zaenab. Saat itu, salah seorang anggota keluarga masih kecil, sekitar 3,5 tahun. Dia belum akil balig. Lantas pihak otoritas setempat menunggu sampai dewasa untuk dimintai pendapatnya tentang pemaafan kepada Zaenab.

Ternyata, setelah dewasa, yang bersangkutan setelah ditanyai tentang pemaafan tadi, tidak setuju. Menolak memberi maaf. Karena itulah Zaenab langsung dieksekusi.

Sekiranya anak bersangkutan setelah dewasa atau akil balig menyetujui untuk memberi maaf, maka bisa menggugurkan penolakan keluarga seluruhnya sehingga Zaenab dapat terbebas atau selamat dari eksekusi.

**

Pemaafan itu ada dua macam:

Pertama, tanpa syarat. Artinya, kalau keluarga korban memberi maaf, maka bebaslah dari pelaksanaan eksekusi. Sekalipun pedang sudah di atas leher, jika keluarga memaafkan saat itu eksekusi dapat dibatalkan.

Kedua, pemaafan dengan syarat. Dengan membayar sejumlah uang yang disebut diat.

Terkait dengan pemberitahuan kepada orang yang hendak dieksekusi, biasanya dilakukan pada malam harinya menjelang eksekusi. Pelaku diberi tahu malam harinya. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan mungkin ada pesan-pesan wasiat. Bisa jadi, hal inilah yang menyebabkan tak sempat orang mengumumkan pelaksanaan eksekusi.

Sangat disarankan, manfaatkan pintu pemaafan. Untuk ini harus ada tim lobi. Dari pihak kedutaan besar harus aktif. Pengalaman Maftuh ketika itu adalah dilakukan dengan mencari orang yang punya pengaruh kepada keluarga korban. Misalnya mantan pejabat setempat. Orang yang sudah tua, yang biasanya kerap kumpul di masjid.

Harus ditekankan bahwa "Saya datang kemari bukan menyalahkan putusan hakim, tapi ingin memanfaatkan celah yang diberikan oleh hukum, yaitu pemaafan. Dengan cara itu pihak yang diajak bicara akan respek. Dia merasa ikut membantu. Membantu berarti mendapatkan pahala."

Lobi ini melelahkan. Perlu waktu, karena tidak ujug-ujug, atau sekonyong-konyong datang kepada keluarga korban untuk minta pemaafan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun