Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berdebat tentang Larangan Bercadar Tidak Akan Pernah Berujung

7 Maret 2018   21:43 Diperbarui: 4 November 2019   10:24 1594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wanita bercadar. | Foto: NU Online

Rasanya "ribet" menyaksikan perempuan mengenakan cadar ketika makan. Setiap hendak menyuap makanan, ia menyingkap cadarnya. Lalu disambut mulut dari balik cadar. Terdengar suara perlahan mulut mengunyah makanan.

Apakah dia merasa nikmat atau tidak, kita tidak bisa menilai. Apalagi saat ia makan, kita tak bisa menyaksikan mulutnya bergerak atau bekerja mengunyah makanan. Kita hanya mampu melihat dari sorot mata dan suara saja.

Ketika bertandang ke rumah seorang rekan, lalu si tuan rumah mengajak makan bersama di kediamannya, tentu saja harus disambut gembira. Kita merasa dihormati. Tapi, lagi-lagi, sebagai tamu yang mengajak rekan mengenakan cadar dan makan bersama tentu akan muncul rasa bimbang. Mau makan bersama atau tidak.

Jika diterima, apakah tuan rumah tidak tersinggung dengan gaya makan orang bercadar. Apalagi si tuan rumah tidak pernah menyaksikan orang bercadar makan bersama. Atau bisa pula si perempuan bercadar merasa tersinggung diajak makan, dengan dugaan akan diolok-olok oleh rekannya atau si tuan rumah.

Penulis punya pengalaman makan bersama dengan seorang perempuan bercadar. Saya tak sebut namanya, tetapi ia adalah seorang yang bermukim di Mekkah. Atau sebutan lain ia adalah seorang mukimin. Ia aktif sekali membantu petugas panitia penyelenggara ibadah haji (PPIH). 

Setiap siang hari, atau ba'da zuhur, ia ikut makan bersama dengan para petugas PPIH di kantor misi haji Indonesia atau Daerah Kerja (Daker) Mekkah.

Perempuan bercadar ini tentu makan satu meja dengan rekan perempuan lainnya yang juga menjadi petugas PPIH. Kadang si perempuan bercadar itu makan satu meja dengan petugas lelaki. Seperti biasa, menyuap nasi, ya, tadi itu, tetap harus didahului dengan menyingkap cadarnya perlahan-lahan. 

Tidak terdengar ia mengunyah nasi. Kita hanya bisa menduga-duga yang bersangkutan menikmati makan dengan nyaman. Ia tidak merasa terganggu dengan petugas pria yang kadang iseng menggoda.

Si perempuan bercadar tidak merasa terganggu. Ia malah membalas dengan kata-kata bersahabat. Sayangnya, kita tidak bisa menyaksikan ia apakah tersenyum atau cemberut. Dari kata-kata yang keluar, si perempuan bercadar itu sudah hafal betul tingkah polah petugas haji karena sudah terlalu lama (72 hari) berada di Mekkah.

Pakaian cadar, dari pengalaman penulis beberapa kali menjadi petugas haji, ternyata tidak semua dikenakan oleh para wanita Arab Saudi.

Seorang jurnalis wanita dari Tanah Air pernah diajak menyaksikan bagaimana perilaku berpakaian perempuan negeri itu. Perempuan negeri petro dollar itu sehari-hari mengenakan cadar, ia bekerja di sebuah stasion televisi lokal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun