Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Hati Menyuarakan Dengki dan Korupsi

14 November 2017   22:04 Diperbarui: 14 November 2017   22:12 1988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KH. Ahmad Mustofa Bisri atau lebih sering dipanggil dengan Gus Mus mengingatkan tentang penyakit takabur, dengki dan pikiran keruh. Foto | filegrob.blogspot.com

 Di malam sepi, tiba-tiba hati menyuarakan kata dengki dan korupsi. Aneh. Terus, kuikuti isi suara hati itu. Makin menguat, lalu mengajak diri melihat negeri yang ditingkahi dengki dan korupsi. 

Kata hatiku, penyakit dengki "berkarat" di negeri ini. Boleh jadi seperti kerak, karena si penanak nasi tidak memperhatikan waktu dan panasnya tungku api hingga air di dandang mengering menyebabkan nasi menjadi gosong atau hitam. 

Entah apa pula sebabnya, ingatan lalu ke tetangga yang baru pindah. Ia menyebut tak mau bermukim lagi satu komplek dengan rekan-rekan sekantornya. Alasannya sederhana, isterinya tidak tahan menjadi olok-olok tetangga kala suaminya pulang malam. Diceritakannya, pulang malam karena lembur lalu punya uang  banyak. 

Celoteh para tengga itu masih dianggap wajar. Repotnya, ketika membeli peralatan rumah tangga - furnitur, misalnya - harus sembunyi-sembunyi. Diangkut malam hari. Maksudnya jangan sampai terlihat para tetangga. Khawatir jadi omongan lagi. Tapi, tetap saja ketahuan. Omongan beli barang dianggap mewah lalu menyebar. 

"Itu barang dibeli dengan hasil gratifikasi," begitu kesimpulan suara tetangga. 

Lebih tak enaknya, rekan kerjanya di kantor bercerita. Isterinya merengek-rengek minta dibelikan barang yang sama. Pakai ngancam pula. 

Dan, atas berbagai pertimbangan itu, lalu rekan saya pindah rumah ke lingkungan kawasan perkampungan. Tujuannya, agar bisa bersosialisasi dengan tetangga dengan baik. Minimal bisa ikut aktivitas positif, termasuk juga mendidik anak-anak ke depan lebih bagus. 

Realitasnya, sungguh penyakit dengki bukan hanya hinggap di masyarakat "akar rumput", - warga strata kelas bawah, - tetapi juga di kalangan elite sampai kelewat batas berkarat. Warga terhormat pun terjangkiti dengki. Suara yang diperdengarkan sangat terasa merdu di kelompoknya sendiri, namun membuat riuh ranah publik. 

Lalu, kesan kental nyinyir menguat, karena kedengkian dipamerkan di ruang publik. 

***

Kata dengki dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat (2014) adalah menaruh perasaan marah (benci, tidak suka) karena iri yang amat sangat kepada keberuntungan orang lain. ... Atau merasa kurang senang melihat orang lain beruntung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun