Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bolehkah Singkawang Jadi Kota Wisata Halal?

19 Oktober 2017   19:56 Diperbarui: 7 November 2017   20:22 1562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ciri khas Singkawang adalah patung naganya yang berada di tengah kota. Foto | tourismalternative.blogspot.com

Bolehkah Singkawang Jadi Kota Wisata Halal?

Ya, boleh saja. Sebab, Singkawang punya hak yang sama dengan warga lainnya di bumi nusantara ini untuk mengembangkan wilayahnya menjadi kota wisata halal (halal tourism) menurut ketentuan syariat Islam.

Bukankah warganya kebanyakan etnis Tionghoa? Masa kota "amoy" dijadikan destinasi wisata halal? Nggak logis kah? Tunggu, tenang, jangan emosi. Lagi pula ini bukan soal SARA.

Asal usul etnis dan agama bukan penghalang untuk mengembangkan wisata halal. Tidak ada ketentuan dalam perundang-undangan bahwa yang paling berhak mengembangkan wisata halal adalah etnis tertentu dan harus beragama Islam.

Undang-Undang Jaminan Produk Halal Nomor 33 tahun 2005 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH) disetujui rapat paripurna DPR pada 25 September 2014. Diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 17 Oktober 2014.

Dalam UU JPH yang terdiri atas 68 pasal ini ditegaskan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

UU itu juga menyatakan pemerintah bertanggung jawab dalam menyelanggarakan jaminan produk halal (JPH). Baca juga  Negara Hadir Perkuat Sertifikasi Halal.

Masjid Raya Singkawang, juga berada di tengah kota, saling berdekatan dengan kelenteng. Foto | ananda-widyas.blogspot.co.id
Masjid Raya Singkawang, juga berada di tengah kota, saling berdekatan dengan kelenteng. Foto | ananda-widyas.blogspot.co.id
Untuk itulah dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang bertanggung jawab kepada menteri agama. Badan tersebut merupakan perpanjangan tangan dari Kementerian Agama (Kemenag) yang memiliki wewenang, antara lain merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH, menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH, menerbitkan dan mencabut sertifikat halal pada produk luar negeri, serta melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri.

Maka, jelas sudah. Tidak satu pun pasal yang menyebut bahwa untuk wisata halal ditentukan penduduknya harus muslim seluruhnya. Engga ada itu.

Karena itu, warga Singkawang punya hak menjadikan kota itu sebagai destinasi wisata halal. Bukankan HalalituBaik. Thailand saja, di kawasan Asean tergolong nomor wahid untuk urusan halal, sekalipun warganya penganut Buddha.

Hingga kini, memang, Kementerian Pariwisata belum banyak menggembar-gemborkan tentang wisata halal. Mungkin wisata religi, iya.

Saya pernah baca akademisi mendifinisikan tentang wisata halal. Adalah M. Battour dan M. Nazari Ismail yang mendefinisikan wisata halal sebagai semua objek atau tindakan yang diperbolehkan menurut ajaran Islam untuk digunakan atau dilibati oleh orang Muslim dalam industri pariwisata.

Dari pendapat akademisi itu makin jelas hukum Islam (syariah) sebagai dasar dalam penyediaan produk dan jasa wisata bagi konsumen (dalam hal ini adalah Muslim), seperti hotel halal, resort halal, restoran halal dan perjalanan halal. Bukan pada etnisnya.

Indonesia pernah ikut World Halal Tourism Award 2016 di Abu Dhabi setelah sebelumnya Lombok terpilih sebagai destinasi wisata halal dunia. Menggembirakan, memang. Disusul Aceh dan Sumatera Barat menyatakan diri sebagai destinasi wisata halal dunia. Semua itu dapat teralisir berkat dukungan warga dan pemerintah setempat.

Di sisi lain, harus disadari bahwa hingga kini masih ada pendapat bahwa masyarakat Indonesia yang muslim sudah merasa 'halal'. Jika hal ini tidak disadari, akan jadi batu ganjalan bagi pengembangan wisata halal ke depan.

Sebab, halal yang dimaksud bukanlah terletak pada si 'tuan rumah', tetapi untuk wisatawan, khususnya wisatawan yang berasal dari sejumlah negara Islam.

Coba perhatikan kebersihan rumah ibadahnya. Jika air untuk wudhu di masjid saja tidak ada, atau tak mengalur, berarti itu tidak memenuhi syarat sebagai wisata halal.

Masjid lainnya di Singkawang. Kehidupan toleransi di kota ini berlangsung baik. Foto | Wikipedia.
Masjid lainnya di Singkawang. Kehidupan toleransi di kota ini berlangsung baik. Foto | Wikipedia.
Pada diskusi HalalituBaik di Tjikinii - lihat tulisan - Diskusi Sertifikasi Halal, Citizen Media Ikut Sebarkan Pemahaman Produk Halal - disebutkan paling tidak ada beberapa syarat yang harus terpenuhi untuk wisata halal.

Yaitu: soal tempat dan makanan halal, fasilitas ibadah (shalat), kamar mandi dengan dukungan fasilitas tempat air untuk wudhu, termasuk pelayanan saat bulan puasa (Ramadhan) seperti berbuka puasa dan sahur, menempelkan label non-halal (jika ada makanan yang tidak halal) dan fasilias untuk rekreasi yang bersifat pribadi (privat) tidak bercampur baur secara bebas.

Dibandingkan dengan negara non-muslim, Indonesia harus mengakui jauh tertinggal dalam membangun halal tourism. Kendati bukan negara mayoritas muslim, Tiongkok, Jepang, dan Thailand sudah siap dalam mengakomodir kebutuhan wisatawan muslim. Perkiraan meningkatnya angka wisatawan muslim memicu negara-negara tersebut mempercepat kesiapan mereka.

Thailand sebagai salah satu negara non-muslim telah mengembangkan halal tourism. Negara gajah putih ini telah memiliki hotel, restoran, spa, dan berbagai objek wisata ramah muslim. Kesiapan Thailand dalam mengakomodir kebutuhan wisatawan muslim mendongrak jumlah wisatawan muslim di Thailand. Pada tahun 2015, lebih dari lima juta wisatawan muslim mengunjungi Thailand.

"Kita dapat belajar dari negara-negara non-muslim yang telah mengembangkan halal tourism. Peluang bisnis ini potensial, terlebih Indonesia adalah negara muslim terbesar," ungkap Tazbir Abdullah, Asisten Deputi Pengembangan Segmen Pasar Bisnis dan Pemerintah Kementerian Pariwisata dalam MarkPlus Center for Public Services di Jakarta, Kamis (20/4/2017) seperti di kutip dalam laman Kementerian Pariwisata.

Creative Strategic Expert, Taufan Permadi, yang sukses menggaungkan wisata halal Lombok hingga ke kancah internasional menyebut, 'ruh' dari wisata halal adalah rahmatan lil alamin yang merujuk pada membawa kesejahteraan bagi seluruh alam.

Jadi, terpenting ditonjolkan dari wisata halal ini adalah nilai-nilai keindahan, keamanan, kenyamanan, pesona suatu daerah, keramah-tamahan budaya dan masyarakatnya, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Islam.

"Bukan sex, drug atau alkohol," ia mengingatkan.

Perayaan Cap Go Meh di Singkawang selalu berlangsung meriah. Foto | Santoso Tour.com
Perayaan Cap Go Meh di Singkawang selalu berlangsung meriah. Foto | Santoso Tour.com
Kalau demikian, apa sih yang dapat dijual kepada wisatawan mancanegara tentang Singkawang itu?

Baiknya ditengok tentang kota Singkawang dengan luas luas wilayah 504 km persegi. Oom Wikipedia menyebut bahwa awalnya Singkawang merupakan sebuah desa bagian dari wilayah kesultanan Sambas, Desa Singkawang sebagai tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari Monterado.

Para penambang dan pedagang kebanyakan berasal dari negeri Tiongkok, sebelum mereka menuju Monterado terlebih dahulu beristirahat di Singkawang, sedangkan para penambang emas di Monterado yang sudah lama sering beristirahat di Singkawang untuk melepas kepenatannya.

Jadi, Singkawang juga sebagai tempat transit pengangkutan hasil tambang emas (serbuk emas). Waktu itu, mereka (orang Tionghoa) menyebut Singkawang dengan kata San Keuw Jong (Bahasa Hakka), mereka berasumsi dari sisi geografis bahwa Singkawang yang berbatasan langsung dengan laut Natuna serta terdapat pengunungan dan sungai, dimana airnya mengalir dari pegunungan melalui sungai sampai ke muara laut.

Jika dilihat saat ini perkembangan Singkawang demikian pesat. Di antara para penambang sudah beralih menjadi petani, pedagang dan menetap di kota itu.

Penduduk kota Singkawang, yang awalnya bagian dan ibukota dari wilayah Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, tercatat 246.306 jiwa dan 42 persen diantaranya Tionghoa. Sisanya Jawa, Dayak, Melayu dan suku lainnya. Seperti disebut di atas, orang Tionghoa sudah ada di kota ini sudah sejak ratusan tahun lalu ketika pertambangan Moterado dibuka. Orang luar bisa jadi melihat Singkawang sebagai Pecinan atau Chinatown.

Kelenteng di tengah kota yang banyak dikunjungi umat Buddha dan Konghucu. Foto | Santositour.com
Kelenteng di tengah kota yang banyak dikunjungi umat Buddha dan Konghucu. Foto | Santositour.com
Di kota ini ada beberapa tempat wisata menarik, antara lain pantai pasir panjang, Sinka Island Park, Sinka Zoo, Bukit Bougenville, Taman Chidayu, Teratai Indah, Pasar Hongkong, Vihara Tri Dharma Bumi Raya, Danau Biru. Sedangkan budayanya yang paling menonjol adalah Cap Go Meh, Gawai Dayak Naik Dango.

Di kota Singkawang ini pula orang menjuluki sebagai kota seribu kelenteng. Vihara atau kelenteng ada di mana-mana, begitu pula tempat sembahyang yang lebih kecil, cetiya, ada di mana-mana. Antara mencatat hingga 2014 ada 704 bangunan vihara dan cetiya.

Tentang rumah ibadah bagi umat Muslim di Singkawang, ada dua masjid besar yang sering digunakan umat Islam. Masjid Agung Nurul Islam dan Masjid Raya Singkawang. Delapan masjid besar lainnya teresebar di beberapa tempat.

Bagi umat Islam dan penganut agama lainnya, keunikan yang dimiliki warga Singkawang telah menjadi daya pikat wisatawan mancanegara. Jika saja di kota ini dibangun sebuah Bandara, tak mustahil kunjungan wisatawan meliber. Apalagi jika dikemas dengan wisata halal. Bukankah HalalituBaik. Kenapa, tidak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun