Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Assessor

Direktur IISA Assessment Consultancy & Research Centre

Selanjutnya

Tutup

Healthy

“Brengsek” sebagai Taktik Memoles “Malu” jadi “Bangga”

16 Juli 2014   17:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:10 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Brengsek” sebagai Taktik Memoles “Malu” jadi “Bangga”

Oleh Edy Suhardono

“Setahu saya itu sudah menjadi media partisan yang mendukung Jokowi-JK. Untuk Jakarta Post, saya tidak mau menjawab, terima kasih," kata Prabowo menanggapi pertanyaan yang diterimanya. Begitu usai jumpa pers, Prabowo kemudian mendatangi wartawan itu. Dengan merangkulnya, Prabowo kembali menyatakan permintaan maafnya kepada wartawan itu, "Ini bukan salah kamu. Ini salah pemimpin Jakarta Post yang berengsek," ujarnya.

Prabowo Subianto marah pada media yang tak mendukungnya, apalagi media yang jelas-jelas menyatakan dukungan pada Capres Joko Widodo. Sebutan “media partisan” ia pakai untuk mengatribusi media yang memihak dan sering ‘menjahati’ dirinya. Ia tak mau melayani wawancara dengan media-media yang berseberangan dengannya.

Prabowo menyebut Metro TV sebagai televisi berita ‘jahat’. Dia mempertanyakan Surya Paloh sebagai pemiliknya. “Metro TV itu jahat. Apa dosa saya sama Surya Paloh sampai kalian begitu jahat dengan saya. Tak berimbang pemberitaan kalian. Kalau tidak mau disakiti, jangan menyakiti orang lain. Itu ajaran semua agama,” ucap Prabowo di hari pencoblosan 9 Juli di Hambalang, Bogor. Berita Satu, media milik Lippo Grup itu, di mata Prabowo adalah media yang “sadis dalam memberitakan dirinya”. Tidak hanya televisinya, dia juga menyinggung koran berbahasa Inggris, Jakarta Globe yang merupakan salah satu grup dengan Berita Satu, “Berita Satu ini tak fair. Sadis dia. Sama juga seperti Jakarta Globe. Jahat itu Jakarta Globe,” ujar Prabowo.

Tak terkecuali, Tempo dan Kompas pun kena semprot. “Saya ini punya banyak pendukung. Bagaimana kalau saya bilang ke pendukung saya tak perlu nonton Metro TV, habis kalian. Kompas juga termasuk, Berita Satu juga. Begitu juga Tempo. Apa yang saya pernah buat dengan Goenawan Muhammad. Dengan Megawati.” kata Prabowo 9 April lalu. Beberapa kejadian dimana media didamprat Prabowo ini sampai menggerakkan seorang kompasioner menulis, “Entah Apa yang Akan Terjadi Pada Kompas, Tempo, dan Metro TV Ketika Prabowo Menang Jadi Presiden RI”.

Alih-alih memberikan atribusi “sadis”, “jahat”, “brengsek”, “partisan”, jika benar bahwa yang dilakukan oleh media-media tersebut merupakan pencemaran nama baik, seharusnya Prabowo memiliki alasan kuat untuk mengajukan somasi.

Kenapa Bukan Somasi, tapi Atribusi?

Alasan rasional yang dapat diterima nalar terkait pemberian atribusi “sadis”, “jahat”, “brengsek”, “partisan” oleh Prabowo kepada media-media adalah jika media-media tersebut memang terbukti melakukan pembunuhan karakter melalui pernyataan palsu yang merugikan reputasi dan nama baiknya. Berbasis pembuktian ini semestinya Pabowo mengajukan somasi. Ada dua jenis pembunuhan karakter: fitnah dan pencemaran nama baik. Fitnah adalah pernyataan palsu yang berbicara tentang seseorang, sedang pencemaran nama baik adalah pernyataan palsu yang ditulis tentang seseorang dan muncul dalam bentuk cetak, email, situs sosial, foto, video, atau jenis lain dari publikasi. Kadang-kadang, pembunuhan karakter dapat mencakup kombinasi dari fitnah dan pencemaran nama baik. Terkait pencemaran nama baik, Prabowo harus membuktikan bahwa media-media itu tidak hanya memberikan pemberitaan atau pernyataan palsu, tetapi juga pemberitaan atau pernyataan yang terbukti menjadi penyebab langsung dan membahayakan reputasinya.

Misalnya, Prabowo harus dapat membuktikan berdasarkan kesaksian pihak ketiga bahwa pencemaran yang dialaminya telah memerosotkan elektabilitasnya. Somasi dapat diajukan jika Prabowo dapat membuktikan bahwa media-media tersebut telah memberikan pernyataan terkait bahwa dirinya: (1 memiliki penyakit tertentu, (2) melakukan tindak pidana tercela, (3) memiliki abnormalitas tertentu, atau (4) menunjukkan ketidakjujuran tertentu. Pertanyaannya kemudian, jika Prabowo membuktikan bahwa nama baiknya telah dicemarkan, mengapa ia tak melakukan somasi, tetapi justru membuat atribusi terhadap media-media terkat?

Atribusi dan Dendam

Dendam adalah upaya untuk mengubah dan memoles rasa malu menjadi bangga. Secara fenomenologik, emosi dendam ditandai dengan keinginan membalas penderitaan yang tak tertahankan dengan memproduksi respons primitif-destruktif yang disertai amarah, dorongan mencederai, dan menghina dengan melontarkan berbagai atribusi negatif. Rasa dendam dan keinginan membalas menjadi satu paket yang diarahkan pada target tertentu dengan maksud membalas sakit hati sebagai akibat dari keyakinan bahwa target telah sengaja menyakiti.

Secara psikologik, balas dendam merupakan perwujudan dari kebutuhan untuk mempertahankan diri. Sebagian besar tindakan balas dendam hampir selalu gagal karena si pendendam mencoba untuk mengubah masa lalunya. Dan sekali pengrusakan atau pencederaan ia lakukan, baik berupa penghinaan (verbal) maupun tindak agresi nyata (nonverbal), maka jam tidak dapat berbalik dan yang akan terjadi kemudian adalah justru kerugian permanen. Selain itu, nilai kerugian akibat ketersinggungan akan jauh lebih besar daripada manfaat yang diperoleh si pendendam. Akibatnya, ketelanjuran dan kelepasan yang ia lakukan merupakan kerugian yang sulit dianulir apalagi dipulihkan.

Inti emosi dari balas dendam adalah upaya untuk menghilangkan rasa malu dengan meningkatkan pencitraan dan menegaskan dominasi. Pencitraan ini cenderung berujung dengan kegagalan karena penegasan dominasi justru tidak meningkatkan pencitraan, tetapi sebaliknya malahan meningkatkan kekerasan, menambah penyesalan, dan akhirnya justru merobohkan citra dan konsep diri. Hal ini dijelaskan dengan adanya hubungan antara rasa malu, agresi, dan perilaku balas dendam. Hans Toch, misalnya, meneliti, pada orang-orang kejam terbiasa menanggapi tanda-tanda penghormatan atau pelecehan dengan melakukan pembalasan melalui tindak kekerasan.

Emosi yang berperan penting adalah rasa malu. Orang malu lebih rawan untuk marah, melakukan tindak kekerasan dan pembalasan terutama ketika merasa dipermalukan. Rasa malu yang terangsang oleh sebuah kritik yang dirasakan dapat mengokang gairah dan rasa panik ikutan, sehingga seseorang yang merasa dipermalukan memerlukan transformasi emosi, yakni dengan mengarahkan kemarahan pada sumber yang menyebabkan rasa malu.

Menurut Tangney et al. (1996) rasa malu karena dipermalukan berhubungan positif dengan gairah kemarahan dan niatan jahat --merasa seperti berhadapan lagi dengan target marah-- dan niatan tersinggung --merasa seperti melepaskan api yang tersekam—dan hampir tidak terkait dengan niatan konstruktif seperti memperbaiki situasi. Kerawanan wilayah malu juga dikaitkan dengan reaksi merusak yang dilandasi kemarahan dalam tingkatan tinggi baik secara fisik langsung, verbal, maupun agresi simbolis kepada sasaran; baik melalui agresi tidak langsung, seperti: menimbulkan kerugian dengan melakukan sabotase terkait kepentingan vital pihak sasaran, mengumpat dan mencaci maki di belakang sasaran, agresi yang dialihkan ke pihak lain di luar sasaran, maupun kemarahan terhadap diri sendiri.

Strategi terbaik untuk membalas dendam adalah melihat jauh ke masa depan dan mengakui bahwa siklus balas dendam hanya akan menciptakan spiral tragika dan sebaiknya dihentikan bahkan sebelum dimulai. Semoga para bakal pemimpin nasional kita memperhatikan ikhwal ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun