Indonesia lahir dari semangat keberagaman yang dijahit dengan benang konstitusi. Pancasila bukan sekadar ideologis; ia adalah janji negara terhadap warga bahwa hak asasi manusia akan dijunjung tinggi tanpa diskriminasi atas identitas, latar belakang, atau keyakinan. Namun, belakangan ini, publik dihadapkan pada paradoks yang menggugah nurani: apakah negara benar-benar hadir untuk semua, atau hanya untuk suara yang paling lantang?
Sebuah kasus yang memantik refleksi muncul baru-baru ini---perusakan rumah retret di Sukabumi oleh sekelompok massa, yang seharusnya mendapat respon tegas dari aparat dan Kementerian Hukum dan HAM. Tetapi, ketika KemenHAM justru meminta penangguhan penahanan terhadap tujuh tersangka, publik tercengang. Sejumlah media, seperti Kumparan (04 Juli 2025) dan Kompas (01 Juli 2025), menyorot kebijakan ini sebagai bentuk kegamangan institusi negara dalam menghadapi intoleransi.
Inkonsistensi yang Membingungkan
Kritik terhadap sikap KemenHAM bukan semata soal hukum, tetapi soal moral publik. Ketika institusi yang semestinya melindungi HAM justru tampak melunak terhadap tindakan perusakan, wajar bila masyarakat mempertanyakan dasar pengambilan keputusan. Apakah ini murni penegakan hukum yang objektif? Ataukah ada tekanan yang membuat negara kehilangan keberanian untuk menegakkan keadilan secara imparsial?
Inkonsistensi institusional ini menyisakan ironi: negara tampak gagap mengurus konflik horizontal yang menyentuh isu agama dan keyakinan. Padahal, konstitusi sudah terang benderang menetapkan bahwa setiap warga negara berhak atas perlindungan, termasuk atas tempat ibadah dan ruang spiritualnya. Di sinilah publik mulai meragukan apakah negara masih berpegang pada fakta, atau sudah terseret oleh opini dan desakan kelompok mayoritas.
Paradoks Konstitusi dan Realitas Minoritas
Negara yang dibangun atas prinsip pluralisme semestinya berdiri paling depan dalam melindungi minoritas. Tetapi fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya: negara tampak absen atau ambigu dalam mengambil sikap tegas terhadap pelanggaran intoleransi. Kasus Sukabumi bukan satu-satunya; sejumlah insiden serupa menunjukkan bahwa ketika hak kelompok kecil diganggu, reaksi negara sering kali tidak setegas saat suara mayoritas terganggu.
Paradoks ini menciptakan jurang kepercayaan. Jika kelompok minoritas merasa negara tidak hadir sebagai pelindung, kepada siapa mereka harus berpaling? Ketika janji konstitusional tidak lagi selaras dengan tindakan institusional, krisis legitimasi bukan hanya mungkin terjadi---ia sedang berlangsung.
HAM dalam Pusaran Psikopolitik
Hak Asasi Manusia bukan sekadar rangkaian pasal dalam undang-undang. Ia adalah fondasi moral dan etika dalam membangun bangsa yang beradab. Dalam konteks psikologi sosial, pelanggaran HAM sering didahului oleh proses dehumanisasi---kelompok lain dilihat sebagai ancaman, bukan sesama manusia. Ketika negara tidak aktif membendung narasi-narasi dehumanisasi, maka pelanggaran HAM menjadi konsekuensi yang nyaris tak terelakkan.