Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya. Tiga buku terakhir nya adalah 'Membaca Identitas, Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas: Suatu Tinjauan Filsafat dan Psikologi' (Gramedia Pustaka Utama, 2023), 'Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio-Digital' (Zifatama Jawara, 2025), dan 'Kecerdasan Jamak, Keberagaman dan Inklusivitasnya' (Zifatama Jawara: 2025).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Toleransi, Kebijakan, dan Koherensi Konstitusional: Negara Hadir?

4 Juli 2025   21:15 Diperbarui: 4 Juli 2025   22:24 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peran Negara (Sumber: Koleksi Pribadi Edy Suhardono)

Indonesia lahir dari semangat keberagaman yang dijahit dengan benang konstitusi. Pancasila bukan sekadar ideologis; ia adalah janji negara terhadap warga bahwa hak asasi manusia akan dijunjung tinggi tanpa diskriminasi atas identitas, latar belakang, atau keyakinan. Namun, belakangan ini, publik dihadapkan pada paradoks yang menggugah nurani: apakah negara benar-benar hadir untuk semua, atau hanya untuk suara yang paling lantang?

Sebuah kasus yang memantik refleksi muncul baru-baru ini---perusakan rumah retret di Sukabumi oleh sekelompok massa, yang seharusnya mendapat respon tegas dari aparat dan Kementerian Hukum dan HAM. Tetapi, ketika KemenHAM justru meminta penangguhan penahanan terhadap tujuh tersangka, publik tercengang. Sejumlah media, seperti Kumparan (04 Juli 2025) dan Kompas (01 Juli 2025), menyorot kebijakan ini sebagai bentuk kegamangan institusi negara dalam menghadapi intoleransi.

Inkonsistensi yang Membingungkan

Kritik terhadap sikap KemenHAM bukan semata soal hukum, tetapi soal moral publik. Ketika institusi yang semestinya melindungi HAM justru tampak melunak terhadap tindakan perusakan, wajar bila masyarakat mempertanyakan dasar pengambilan keputusan. Apakah ini murni penegakan hukum yang objektif? Ataukah ada tekanan yang membuat negara kehilangan keberanian untuk menegakkan keadilan secara imparsial?

Inkonsistensi institusional ini menyisakan ironi: negara tampak gagap mengurus konflik horizontal yang menyentuh isu agama dan keyakinan. Padahal, konstitusi sudah terang benderang menetapkan bahwa setiap warga negara berhak atas perlindungan, termasuk atas tempat ibadah dan ruang spiritualnya. Di sinilah publik mulai meragukan apakah negara masih berpegang pada fakta, atau sudah terseret oleh opini dan desakan kelompok mayoritas.

Paradoks Konstitusi dan Realitas Minoritas

Negara yang dibangun atas prinsip pluralisme semestinya berdiri paling depan dalam melindungi minoritas. Tetapi fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya: negara tampak absen atau ambigu dalam mengambil sikap tegas terhadap pelanggaran intoleransi. Kasus Sukabumi bukan satu-satunya; sejumlah insiden serupa menunjukkan bahwa ketika hak kelompok kecil diganggu, reaksi negara sering kali tidak setegas saat suara mayoritas terganggu.

Paradoks ini menciptakan jurang kepercayaan. Jika kelompok minoritas merasa negara tidak hadir sebagai pelindung, kepada siapa mereka harus berpaling? Ketika janji konstitusional tidak lagi selaras dengan tindakan institusional, krisis legitimasi bukan hanya mungkin terjadi---ia sedang berlangsung.

HAM dalam Pusaran Psikopolitik

Hak Asasi Manusia bukan sekadar rangkaian pasal dalam undang-undang. Ia adalah fondasi moral dan etika dalam membangun bangsa yang beradab. Dalam konteks psikologi sosial, pelanggaran HAM sering didahului oleh proses dehumanisasi---kelompok lain dilihat sebagai ancaman, bukan sesama manusia. Ketika negara tidak aktif membendung narasi-narasi dehumanisasi, maka pelanggaran HAM menjadi konsekuensi yang nyaris tak terelakkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun