Tradisi memaafkan di Indonesia, khususnya dalam momen Idul Fitri, memiliki makna spiritual dan sosial yang mendalam. Memaafkan sering diwujudkan dalam bentuk halal bihalal, mudik, dan silaturahmi dengan keluarga serta kerabat. Namun, apakah memaafkan selalu identik dengan mengampuni?
Dalam psikologi agama, dua konsep ini memiliki perbedaan mendasar. Memaafkan adalah proses internal yang berfokus pada perubahan emosional, sedangkan mengampuni lebih terkait dengan tindakan eksternal, seperti penghapusan hukuman atau rekonsiliasi.
Pemaafan dalam Perspektif Psikologi
Ketika berbicara tentang memaafkan, kita mungkin membayangkan momen-momen kecil dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, seorang teman yang lupa membalas pesan penting, atau seorang kerabat yang berkata hal yang menyinggung tanpa sengaja.
Memaafkan, seperti yang dijelaskan oleh Robert D. Enright (2001) dalam tulisannya berjudul "Forgiveness is a Choice", adalah proses pribadi yang mengubah emosi negatif seperti dendam atau kebencian menjadi sesuatu yang lebih netral, bahkan positif. Namun, ia menegaskan bahwa memaafkan tidak berarti membebaskan pelaku dari tanggung jawab.
Bayangkan, misalnya, seorang teman yang meminjam uang namun tidak mengembalikan. Anda bisa memilih untuk memaafkan, membebaskan diri dari emosi negatif, tetapi tetap menetapkan batasan agar kejadian itu tak terulang lagi.
Dalam pandangan Everett L. Worthington Jr., memaafkan adalah pengampunan personal yang tidak selalu membutuhkan rekonsiliasi. Worthington mencetuskan model REACH, yakni pendekatan sistematis untuk memaafkan yang mencakup lima langkah utama: Recall the hurt (mengingat luka), Empathize with the offender (berempati pada pelaku), Altruistic gift of forgiveness (memberikan pengampunan sebagai hadiah altruistik), Commit to forgive (berkomitmen untuk memaafkan), dan Hold on to forgiveness (mempertahankan pengampunan).
Dengan model REACH-nya, Worthington menekankan langkah-langkah seperti empati dan komitmen untuk melepaskan rasa sakit sebagai inti dari proses memaafkan. Bayangkan situasi keluarga di hari Idul Fitri: seorang kakak dan adik yang sebelumnya bertengkar kini duduk bersama. Sang kakak mungkin memutuskan untuk memaafkan demi mengurangi ketegangan dalam keluarga, meski ia belum sepenuhnya siap untuk memulihkan hubungan seperti semula. Memaafkan menjadi cara untuk melanjutkan hidup, tanpa harus menghapus semua luka dalam sekejap.
Perspektif Islam menawarkan dimensi lain tentang pemaafan. Dalam ajarannya, pemaafan (al-'afw) dipandang sebagai langkah manusiawi yang mulia untuk melepaskan rasa marah atau dendam. Namun, pengampunan (al-maghfirah) adalah hak prerogatif Allah, yang melibatkan penghapusan dosa.
Dalam tradisi Idul Fitri, seruan untuk memaafkan sering terdengar dalam ucapan "Mohon maaf lahir dan batin." Dalam contoh, seorang anak muda mungkin memaafkan pamannya yang jarang pulang kampung selama bertahun-tahun, meskipun ia tidak sepenuhnya setuju dengan pilihan hidup sang paman. Dalam konteks ini, pemaafan adalah wujud kebesaran hati yang memungkinkan hubungan tetap berjalan, meski ada jarak emosional.