Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy & Research Centre.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Alasan Mengapa Misinformasi Lebih Memikat

30 November 2024   18:10 Diperbarui: 1 Desember 2024   10:52 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Telanjur Marah (Sumber: Freepik/Koleksi Edy Suhardono)

Misinformasi di media sosial telah menjadi salah satu tantangan utama di era digital. Platform seperti Facebook dan Twitter/X memungkinkan pengguna untuk dengan mudah berbagi informasi yang tidak terverifikasi.

Di Twitter, dengan cepat menyebar informasi salah terkait hasil pemilihan umum di 2024, di mana tuduhan kecurangan masif disertai video dan gambar tanpa bukti yang valid. Meskipun banyak pengguna menyadari ketidakakuratan tersebut, reaksi emosional seperti kemarahan dan kekecewaan telah mendorong mereka untuk ikut menyebarkannya. Ini sesuai dengan hasil penelitian McLoughlin (2024) yang menunjukkan bahwa konten yang memicu kemarahan lebih rentan untuk menjadi viral, yang memperkuat dampak misinformasi menjadi kian merusak kepercayaan pemilih terhadap proses demokrasi.

Bias Atribusi

Salah satu faktor yang menjelaskan daya tarik misinformasi adalah bias atribusi, yaitu bagaimana individu menetapkan penyebab peristiwa. Saat menerima informasi yang mengangkat emosi, pengguna seringkali mengaitkannya dengan niat jahat pihak lain tanpa mempertimbangkan konteks.

Misalnya, di Facebook pada tahun 2024, sebuah video yang menunjukkan asap tebal dari pabrik menyebabkan banyak pengguna menganggap perusahaan terlibat dalam pencemaran lingkungan, tanpa memverifikasi kebenarannya.

Kemarahan yang muncul seakan menciptakan rasa tanggung jawab moral untuk membagikan informasi tersebut sebagai bentuk protes. Bias ini menyoroti bagaimana interpretasi yang salah dapat menyebarkan misinformasi lebih luas, merontokkan reputasi pihak yang belum tentu bersalah.

Self-Confirmatory Bias

Self-confirmatory bias juga berperan besar dalam menyebaran informasi salah. Ini adalah kecenderungan untuk mencari dan membagikan informasi yang mengonfirmasi keyakinan pribadi.

Pada tahun 2024, pesan berantai di WhatsApp menyatakan rencana pemerintah untuk mengenakan pajak tinggi pada makanan pokok, disertai grafik yang tampak mendukung klaim tersebut. Banyak pengguna yang skeptis terhadap pemerintah langsung membagikannya tanpa verifikasi, merasa bahwa informasi tersebut menguatkan pandangan awal mereka.

Penelitian oleh Nickerson (2016) menunjukkan bahwa kecenderungan ini memperburuk ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan menciptakan rasa was-was dalam komunitas. Informasi yang relevan diabaikan, dan fakta yang tidak selaras dengan kepercayaan individu sering kali ditolak, memperkuat siklus misinformasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun