Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money

Defisit Impor yang Dikritik Capres Nomor 01

17 Januari 2019   14:14 Diperbarui: 17 Januari 2019   18:22 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Setelah diolah dengan tambahan iodium dan zat ini-itu, plus dikemas dan lain-lainnya, katakanlah harganya menjadi Rp2.000/kg. Anda tahu, berapa harga garam yang dibayar emak-emak untuk keperluan dapur mereka? Biasanya mereka membeli per 250gr pada harga Rp4.000 alias Rp16.000/kg!

Katakanlah importir menjual ke pedagang/distributor besar pada Rp8.000/kg. Dari sini ada keuntungan Rp6.000/kg. Sekarang, kalikan dengan 3,7 juta ton impor garam yang Pemerintah (baca; Menteri Perdagangan) putuskan pada Maret 2018. Maka keuntungan yang diraup para mafia garam adalah Rp22,2 triliun!

Bayangkan, Rp22,2 triliun keuntungan pengusaha pemegang hak kuota impor dari Enggar dari garam saja. Kini anda bisa membayangkan, berapa laba mereka dari impor gula, kedelai, daging, jagung, beras, dan lainnya. Sungguh sangat mengerikan.

Gelimang keuntungan super-super-superjumbo itu dimungkinkan karena impor produk pangan dan pertanian kita menerapkan sistem kuota. Jatah alokasi kuota itu hanya hingga pada segilintir pengusaha besar yang dekat dengan kekuasaan. Dengan keuntungan superfantastis tadi, buat para pengusaha tidak soal kalau harus menyisihkan sebagian untuk para pejabat publik berwenang.

Amunisi politik

Tidak bisa tidak, impor produk pangan bukan sekadar perkara dagang yang menghasilkan keuntungan dahsyat. Ia juga sarat dengan aroma politik yang menyengat. Inilah yang sejak beberapa tahun silam disuarakan dengan lantang oleh ekonom senior Rizal Ramli tentang buruknya sistem kuota impor.

RR, begitu Rizal Ramli biasa disapa, sudah lama mendesak sistem kuota dihapuskan dan diganti dengan sistem tarif. Dengan begitu dipastikan impor kita akan lebih kompetitif karena tidak dikuasai segelintir mafia impor yang menjadi kartel. Harga bahan pangan akan lebih murah dan terjangkau oleh rakyat kecil.

Mantan Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) itu benar. Tidak sulit untuk memahami fenomena impor komoditas pangan yang kian sering terjadi belakangan ini. Impor produk pangan adalah jalan pintas paling mudah untuk mengeruk laba sangat besar. Dengan fulus yang berlimpah, apa saja bisa dilakukan. Termasuk dan terutama menyogok pejabat dan atau membiayai syahwat politik yang menggelegak. Itu sebabnya perselingkuhan penguasa dan pengusaha di ranah ini seperti tidak pernah berakhir.

Sampai di sini, selain Enggar sebenarnya ada orang lain yang (lebih) bertanggungjawab. Dialah Jokowi. Selaku Presiden, Jokowi memegang kendali penuh atas impor, khususnya produk pangan dan pertanian.

Pertanyannya, bagaimana mungkin Jokowi bisa membiarkan permainan yang amat kasar sekaligus tak bernurani ini? Tidakkah Presiden menyadari betapa buruk akibat perilaku menteri dan para kroninya bagi nasib petani?

Pertanyaan berikutnya, mengapa dia tidak kunjung mencopot Enggar? Bukankah perilaku si menteri jelas-jelas bertentangan dengan jargon Trisakti dan Nawa Cita yang jadi jualan Jokowi saat Pilpres 2014 silam? Bukankah karena dagangannya itu dia bisa meraup suara lebih banyak ketimbang para pesaingnya? Dan, ini yang paling penting, bukankah sebagai Presiden dia harus merealisasikan janji-janjinya selama nyapres?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun