Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money

Seri Jokowi Gagal 1: #2019GantiPresiden, Sudah Benar Itu!

31 Desember 2018   13:33 Diperbarui: 31 Desember 2018   14:22 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Padahal, kalau soal membangun jalan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808-1811) Herman Willem Daendels terbukti sukses membangun jalan Anyer-Panarukan yang panjangnya mencapai seribu kilometer. Membangun pelabuhan pun dilakukan Belanda. Warisannya di antaranya pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, pelabuhan Tanjung Mas di Semarang, dan pelabuuhan Belawan di Sumatera Utara. Kalau bandara, Belanda meninggalkan Kemayoran dan Halim Perdanakusuma.

Gerombolan ini juga tidak peduli dengan utang yang menggelembung luar biasa hanya dalam tempo amat singkat.  Mereka seperti membuta-tulikan mata-telinganya atas utang pemerintah dan swasta melonjak lebih dari Rp7.000 triliun hanya  dalam tempo kurang dari empat tahun.

Bahkan para  menteri ekonomi yang konon orang-orang jempolan, pun tidak peduli bahwa  utang pemerintah bertambah sekitar Rp1.600 triliun. Padahal, mereka tahu persis, angka ini jauh melampaui kenaikan pendapatan pajak dan pertumbuhan PDB. Orang-orang 'terhormat' itu bagai menggadaikan nalar dan nurani ketika dihadapkan kenyataan, bahwa utang ribuan triliun tadi menjadi beban rakyat hari ini dan anak cucunya di masa depan.

Kemiskinan kian parah

Di luar infrastruktur  bermasalah yang digembar-gemborkan sebagai keberhasilan tadi, kita bisa memajang deretan fakta kegagalan Jokowi. Dari sisi kesejahteraan, misalnya. Bagaimana Jokowi dan tim ekonominya menjelaskan, saat Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan sekitar 100 juta penduduk Indonesia miskin dan dan rentan miskin?

Pada 2017, kemiskinan semakin dalam. Indikatornya adalah kian jauhnya pengeluaran penduduk  miskin dari garis kemiskinan yang Rp401.220/orang per bulan. Padahal, kita sudah merdeka lebih dari 73 tahun. Bandingkan dengan negara-engara ASEAN lain yang merdeka belakangan, rakyatnya sudah jauh lebih sejahtera ketimbang kita. Bahkan melawan Vietnam yang 'anak bawang' di ASEAN pun, Indonesia kedodoran.

Bagaimana Jokowi dan para pendukungnya harus bekelit, manakala data menunjukkan Indonesia berada di peringkat empat negara dengan ketimpangan tertinggi? 1% penduduk terkaya menguasai 49,3% kekayaan negara. Bahkan harta empat orang terkaya di negeri ini, setara dengan kekayaan 100 juta penduduk. Bukti ketimpangan lainnya, Data World Bank menyebutkan, 74% luas tanah dikuasai 0,2% penduduk.

Bagaimana pula Jokowi dan fans-nya menjelaskan, bahwa Indonesia termasuk salah satu negara paling oligarkis. Jeffrey Winters (2017) dan Arif Budimanta (2018) menyebut, setiap1 dari 40 orang terkaya memiliki aset 584.478 kali lipat dari rata-rata pendapatan per orang. Para oligark bukan cuma memonopoli penguasaan aset ekonomi, tapi mereka juga merambah struktur politik di pelbagai tingkat, baik di eksekutif maupun legislatif. Akibiatnya, korupsi merajalela dan ketimpangan semakin parah.

Dengan  ketimpangan  kesejahteran yang luar biasa tersebut, tidak heran bila United Nation Sustainable Development melaporkan tingkat kebahagian masyarakat turun drastis dalam tiga tahun terakhir. Peringkat Indonesia melorot dari 74 menjadi 96 pada 2017 di antara 156 negara. 

Tidak bisa tidak, Jokowi dan rezimnya harus mengakui, bahwa rapor pembangunan kesejahteraan rakyat Indonesia jelas-jelas kebakaran. Angka-angkanya bertabur dengan warna merah. UNDP bahkan mengganjar Indonesia sebagai negara yang indeks pembangunan manusia (IPM)-nya lebih lamban ketimbang negara lain. Pada 2014, IPM kita berada di posisi 133, melorot ke peringkat 113 di antara 188 negara.

Hayo, masih ngotot mau dua periode? Pertanyaannya, masih punya malu? #2019GantiPresiden sudah benar itu!

Jakarta, 31 Desember 2018

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun