Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Impor Pangan dan Jebakan "Presidential Threshold"

27 Februari 2018   13:18 Diperbarui: 27 Februari 2018   13:29 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koran Independent Observer beberapa waktu lalu menurunkan tulisan di halaman depan berjudul Corn and salt imports; Playing Politics with Indonesia's Food Security. Laporan satu halaman penuh itu diberi ilustrasi Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito yang tengah duduk bersila. Di gambar itu, Enggar punya delapan tangan. Dua tangan bagian paling bawah masuk ke saku kanan-kiri jas. Enam tangan lain dibuat tersusun rapi dari bawah ke atas. Masing-masing tangan ada berbagai komoditas pangan; beras, gula, daging, kedelai, garam, dan jagung.

Lewat judul yang terjemahan bebasnya berbunyi Jagung dan Garam Impor; Main-main Politik dengan Ketahanan Pangan Indonesia plus ilustrasi yang begitu gamblang, koran ini seperti sedang menelanjangi perilaku Enggar. Bahwa, impor produk pangan bukan sekadar perkara dagang yang menghasilkan keuntungan superjumbo, tapi juga sarat dengan aroma politik yang menyengat.

Inilah yang sejak beberapa tahun silam disuarakan dengan lantang oleh ekonom senior Rizal Ramli tentang buruknya sistem kuota impor. Melambungnya harga berbagai bahan pangan akhir-akhir ini terjadi karena pemerintah tidak memiliki strategi dan kebijakan yang jelas di sektor pangan. Hal itu diperparah dengan adanya sistem kuota impor yang tidak transaparan. Akibatnya terjadilah kongkalikong pejabat dan pengusaha penerima lisensi kuota impor yang merugikan sangat rakyat dan negara.

RR, begitu Rizal Ramli biasa disapa, juga mendesak sistem kuota dihapuskan dan diganti dengan sistem tarif. Dengan begitu dipastikan impor kita akan lebih kompetitif. Harga bahan pangan akan lebih murah dan terjangkau oleh rakyat kecil.

Tidak sulit untuk memahami fenomena impor komoditas pangan yang kian sering terjadi belakangan ini. Impor produk pangan adalah jalan pintas paling mudah untuk mengeruk laba sangat besar. Dengan fulus yang berlimpah, apa saja bisa dilakukan. Termasuk dan terutama menyogok pejabat dan atau membiayai syahwat politik yang menggelegak. Itu sebabnya perselingkuhan penguasa dan pengusaha di ranah ini seperti tidak pernah berakhir.

Tapi impor pangan bertubi-tubi yang dilakukan akhir 2017 dan awal 2018 sudah benar-benar keterlaluan. Kalau nafsu serakah tak bisa dibendung, mbok yao impor dilakukan nanti-nanti, minimal tiga bulan ke depan.  Bukan saat panen raya seperti yang terjadi pada padi, garam, jagung, dan lainnya. Petani dan produsen lokal sudah pasti yang paling menderita.

Jatuhkan elektabilitas Presiden

Sangat patut dicurigai para pelakunya bukan sekadar mengincar untung yang memang sebesar gajah bunting berpenyakit beri-beri dan bengkak disengat ribuan lebah. Mereka juga secara sistematis dan terencana sedang menjatuhkan kredibilitas sekaligus elektabilitas Presiden Jokowi. Bukankah banjir impor produk pangan membuat petani dan produsen marah? Tidakkah ini akan membuat mereka emoh memilih Jokowi pada laga Pilpres 2019?

Pertanyannya, apakah Jokowi tidak bisa membaca permainan sekasar ini? Tidakkah Presiden menyadari betapa buruk akibat perilaku menteri dan para kroninya di ranah impor pangan ini?

Mustahil kalau Jokowi tidak engeh. Dia memang berasal dari Solo yang dipersepsikan lugu. Tapi, pengalaman menjadi Gubernur DKI dan tiga tahun sebagai Presiden pasti telah memberi banyak sekali pelajaran baginya. Kesimpulannya, Jokowi pasti sudah paham benar jurus-jurus maut tapi licik tersebut.

Namun pertanyaan berikutnya, mengapa dia tidak kunjung mencopot Enggar? Bukankah perilaku si menteri jelas-jelas bertentangan dengan jargon Trisakti dan Nawa Cita yang jadi jualan Jokowi saat Pilpres 2014 silam? Bukankah karena dagangannya itu dia bisa meraup suara lebih banyak ketimbang para pesaingnya? Dan, ini yang paling penting, bukankah sebagai Presiden dia harus merealisasikan janji-janjinya selama nyapres?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun