Mohon tunggu...
Edwin Dewayana
Edwin Dewayana Mohon Tunggu... -

.......... menyingkap fenomena di balik setiap peristiwa .........

Selanjutnya

Tutup

Money

Menyelamatkan Mandala

14 Januari 2011   00:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:37 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tiba-tiba dua hari yang lalu Mandala mengumumkan pengoperasian penerbangan dihentikan sementara akibat kesulitan finansial. Kita semua tahu Mandala adalah salah satu maskapai nasional yang pertama mendapatkan kategori keselamatan kelas satu bersama Garuda dan sedikit maskapai yang lain. Pesawat yang dimiliki Mandala umurnya masih belia. Komitmen dan etika perusahaan ini untuk keselamatan penerbangan dan pelayanan penumpang patut diacungi jempol.

Jalan keluar yang paling bijaksana untuk menyelamatkan maskapai ini sebenarnya adalah merger dengan maskapai lain (misalnya Sriwijaya Air), dengan catatan perundingan merger menghasilkan kesepakatan paling menguntungkan buat kedua belah pihak, atau dengan kerugian minimal di kedua pihak. Kerugian maskapai yang merger untuk sesaat masih bisa ditoleransi dengan mempertimbangkan bahwa dalam waktu tidak lama, kinerjanya akan segera berbalik arah ke positif. Dengan merger aset yang dimiliki oleh Mandala tidak akan menganggur, tetap termanfaatkan, pegawai tidak ada yang dikurangi dan penumpang tetap mendapatkan jasanya.

Semoga arah ini yang segera diambil oleh pemegang saham Mandala.

Penulis ingin mengomentari kebijakan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang mengharuskan maskapai mempunyai 5 pesawat dengan status milik dan 5 pesawat dengan status leasing. Pak Herry Bakti kemarin mengatakan di BBC bahwa kasus Mandala ini bukti bahwa kebijakan pemerintah saat ini dengan keharusan jumlah pesawat tertentu yang dimiliki dan leasing adalah benar. Namun penulis berpendapat lain. Kebijakan itu hanya akan membebani keuangan perusahaan penerbangan. Maskapai memerlukan jumlah modal yang sangat besar untuk menanggung operasional perusahaan. Hampir bisa dipastikan tidak ada pemodal yang mau menanggung beban finansial sebesar ini.

Hitungannya demikian. Satu pesawat jet yang tidak baru untuk 140 penumpang yang layak operasi dengan standar keselamatan memadai, harganya berkisar US$ 60 juta. Kalau maskapai harus mempunyai 5 pesawat milik, maskapai harus mengeluarkan uang US $ 300 juta. Biaya investasi  ini bisa didapatkan dari modal sendiri dan hutang dari bank. Misalnya proporsi antara modal dan hutang 50 - 50, maka modal sendiri yang diperlukan masih terlalu besar, US $ 150 juta. Dan institusi keuangan yang mau meminjamkan sisanya yang US $ 150 juta sangat sedikit karena perusahaan harus membuktikan bahwa operasionalnya mempunyai kelayakan untuk dibiayai oleh bank.

Kemudian untuk leasing 5 pesawat lagi, masih diperlukan biaya modal, hutang atau pendapatan operasional (cash flow) yang sangat besar.

Dengan demikian kebijakan Direktorat Perhubungan Udara harus ditinjau ulang. Kalau persyaratan jumlah pemilikan dan leasing pesawat bisa dikurangi, beban finansial maskapai bisa dikurangi dan bisa dialokasikan untuk benar-benar memenuhi pelayanan kepada penumpang, termasuk aspek keselamatan dan kenyamanan. Dengan demikian maskapai bisa tumbuh berkembang dari kecil sedikit demi sedikit menjadi besar dengan sehat.

Memulai sebuah perusahaan penerbangan dengan hanya satu pesawat yang bagus yang memenuhi standar keselamatan penerbangan tinggi dan status leasing pun tetap bisa didukung. Kita ingat perkembangan Lion Air pada saat awalnya. Demikian juga Sriwijaya Air.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun