Hari itu pak Heri tanpa kenal lelah harus berbohong dan berbohong. Hanya dia saja yang tahu apa yang harus dilakukannya demi tak tampak terlihat seperti orang paling bodoh, melawan nurani pun dia lewati.
"Pak,,bagaimana kabarnya? Jadi gak?" Puluhan pertanyaan seperti itu dia jawab dengan tenang disertai alasan -alasan pembenar, padahal dia tahu itu sesuatu yang tak masuk di akal akan terjadi.Â
"Maafkan, semuanya,,kalian sudah saya tambah bodohnya karena kebodohanku," lirihnya dalam hati saat ingat janji-jannjinya pada teman, saudara,tetangga dan para kawula muda. Ngenes hatinya kalau ingat isi  janji-janjinya itu pada mereka. Segala ada pemberian mobil inventaris, pengaturan posisi jabatan dari jabatan centeng, OB kantor,sopir pribadi sampai jabatan manajer, akan ada jaminan kesejahteraan ke anak-anak yatim piatu dan para manula  sebagai program CSR perusahaan.
Mendadak lamunan pak Heri harus berhenti demi mendengar suara berisik dari depan rumah.
Terdengar suara isterinya berkata-kata dengan intonasi layaknya orang jengkel,
"Mulai hari ini, pak Lukman jangan ke sini-sini lagi ya .. Jangan ngajak-ngajak lagi bapaknya anak-anak! Bisnis,,bisnis. Bisnis itu yang jelas,,menjual jasa atau produk? Ini apa segala pake acara ritual segala,,emang bisa materi dikejar sama non materi selain pesugihan?.. ga jelas!.."
                  *    *    *
Di sudut kota kecil yang lain, pak Lukman dan isterinya tampak saling mencurahkan perasaan tidak senangnya pada salah seorang tetangganya yang berani mencemooh apa yang selama ini mereka usahakan.
"Kalau kita berhasil, dia atau siapa pun yang telah meledek kita jangan diberi apa- apa, pak. Kita harus membalas mereka. Tuman." Begitu kata isteri pak Lukman menyemangati suaminya.
Begitulah akhirnya, gara-gara dana revolusi, pak Lukan dan Isterinya jadi pendendam. Semakin orang meremehkan, maka semakin mereka keukeuh dengan sesat pikirnya. Mau dikasih saran atau kebenaran apa pun tidak akan masuk ke dalam nalarnya.
Jaman internet cepat masih juga kena hoaks, begitu kata salah seorang di obrolan warung kopi, masih sekampung dengan pak Lukman, sambil tertawa-tawa.Â