[caption id="attachment_99649" align="aligncenter" width="640" caption="YNGWIE MALMSTEEN (foto: bandswallpapers)"][/caption] DUNIA memang pernah mengenal banyak gitaris hebat. Mulai dari mendiang Jimi Hendrix, BB King, Johnny Winter, Ritchie Blackmore, (alm) Gary Moore, Steve Howe, Randy Rhoads, George Lynch, Joe Satriani, Jimmy Page, Angus Young, Eddie Van Halen, dan banyak lagi. Namun, hanya satu yang sempat bikin heboh dengan teknik dan kecepatan tangannya dalam menyayat dawai gitar.  Dialah Yngwie Malmsteen. Ya, di era 1980-an, Yngwie memang sempat jadi fenomena di kalangan gitaris rock/heavy metal saat muncul dengan album debut Rising Force di tahun 1984. Kecepatan tangannya dalam melakukan sweep, yang dipadukan dengan nada-nada minor, serta teknik tinggi yang dipertontonkan gitaris asal Swedia ini seperti menciptakan standar baru dalam hal kecepatan dan teknik bergitar,  terutama di jalur rock dan heavy metal. Padahal, ketika itu, Yngwie baru berusia 21 tahun! [caption id="attachment_99641" align="alignleft" width="246" caption="BIKIN GEMPAR - Inilah debut album Yngwie Malmsteen yang menggemparkan (foto: guitarholic)"][/caption] Permainan Yngwie yang kuat dengan sentuhan blues, rock, dan pengaruh klasik kental ala maestro musik klasik, Niccolo Paganini dan JS Bach, yang begitu memesona, dianggap merupakan sesuatu yang baru. Aliran heavy metal yang diusung Yngwie ini kemudian dimasukkan dalam genre "neo-classical metal". Oleh Majalah Guitar Player, album Rising Force, yang hanya memuat dua lagu dengan vokal ("Now Your Ships are Burn" dan "As Above So Below") dari total delapan lagu, dianugerahi penghargaan sebagai Best Rock Album. Album ini juga sempat masuk nominasi sebagai "Best Rock Instrumental" untuk Grammy Award. Sementara di kalangan metal head, ketika itu album Rising Force dijadikan rujukan khusus. Yngwie, yang sebelumnya pernah bergabung dengan band Steeler dan Alcatrazz pun mendapat julukan sebagai "Bapak Gitaris Shredder". Memang, gitaris Shredder alias gitaris yang sangat mengandalkan kecepatan di setiap solo gitarnya, sebenarnya sempat melekat pada diri Eddy Van Halen, saat memperkenalkan gaya "two handed tapping" di lagu instrumental "Eruption" di album selftitled, Van Halen, di 1978. Namun, sulit disangkal, Yngwie-lah yang memodifikasi sekaligus mempopulerkan teknik shredding ini. Hingga kemudian muncul nama-nama yang juga lekat dengan sebutan pendekar gitaris shredder. Sebut saja Steve Vai, Jason Becker, Marty Friedman, Paul Gilbert, Greg Howe , Ritchie Kotzen, hingga duet gitaris Dragon Force yang pernah main di Indonesia, Herman Li dan Sam Tontman. Sementara di Indonesia sendiri, ketika itu ada nama-nama seperti Eet Syahranie, Tjahyo Wisanggeni, Ipung (Power Metal), Beng Beng (PAS), Lucky (Andromedha), Baron (GIGI), atau Ezra Simanjuntak, yang belakangan bangkit dengan Zi Factor. Dalam sebuah wawancara, Yngwie sendiri mengaku gaya bermainnya memang sangat dipengaruhi musik klasik, utamanya Bach dan Paganini. "Saya sudah mengenal musik klasik sejak usia 5 tahun," ujar Yngwie, yang lahir di Stockholm, Swedia, 30 Juni 1963. "Ibu saya penggemar fanatik Bach. Dua kakak saya bermain flute, piano, violin dan accordion. Mereka semua memainkan musik klasik, sehingga saya tumbuh dengan iringan musik klasik." Sementara akar rock dan blues, didapat Yngwie dari pengaruh Jimi Hendrix dan Ritchie Blackmore, yang merupakan dua gitaris idolanya. Saya sendiri, pertama kali mengenal Yngwie, saat masih duduk di kelas 1 SMA. Ketika itu, seorang kawan meminjamkan album Eclipse (1990) yang mencuatkan hits "Save Our Love". Terus terang, saya langsung tergila-gila akan lagu "Bedroom Eyes". Di album ini, saya juga menyukai vokal Goran Edman, yang, menurut saya agak mirip Joey Tempest, vokalis Europe. [caption id="attachment_99643" align="alignright" width="256" caption="AKSI - Salah satu aksi Yngwie Malmsteen dengan gitar Fender Stratocaster-nya. (foto: webboard)"][/caption] Dan, seperti kebiasaan saya ketika itu, setelah menemukan "grup baru" saya langsung mengulik album-album mereka sebelumnya, hingga saya menemukan album Odissey (1988), yang kata orang merupakan album terbaik Yngwie. Alhasil, meski bukan penggemar fanatik Yngwie, saya pun sempat memiliki kaset album tersebut dari hasil uang tabungan jajan sekolah. Saya sendiri setuju jika album Odissey disebut-sebut sebagai salah satu album terbaik Yngwie, selain  Rising Force, tentunya. Selain pilihan sound gitar Yngwie, yang lebih ngerock, lagu-lagu serta melodi di album ini juga lebih enak di telinga. Tapi, tentu, ciri khas Yngwie, dalam hal permainan cepat dan teknik tinggi, sama sekali tak hilang. Dengar saja lagu "Déjà vu", Riot in the Dungeons, "Faster than the Speed of Light", "Bite the Bullets", atau lagu "Rising Force" yang legendaris itu. Tak heran, secara komersial, album ini termasuk yang paling laku di pasaran. Yang menarik, di album ini, juga adalah komposisi instrumental berjudul "Krakatau" yang begitu dahsyat. Tapi, saya sendiri tak tahu, apakah Krakatau yang dimaksud Yngwie ini, adalah gunung di Selat Sunda, yang pernah meletus hebat pada 26-27 Agustus 1883. Yang jelas, dua tahun setelah merilis album Odissey ini, Yngwie sempat menggelar tur di Indonesia, di Jakarta, Solo, dan Surabaya. [caption id="attachment_99644" align="alignleft" width="340" caption="G3 - Yngwie (paling kiri) beraksi dalam sebuah konser G3 bersama Steve Vai (tengah) dan Joe Satriani (foto:flickr)."]