Mohon tunggu...
Humaniora

Meningkatkan Kefektifan Komunitas Garda Caah

2 Oktober 2017   05:08 Diperbarui: 2 Oktober 2017   05:19 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lingkungan dapat menjadi teman atau musuh tergantung bagaimana manusia menyikapi lingkungan tersebut. Lingkungan hidup berfungsi sebagai sumber kehidupan, seperti air, makanan, dan energi yang dapat diolah sedemikian rupa oleh manusia. Namun lingkungan juga dapat menjadi masalah dengan bencana-bencana yang timbul seperti banjir, gempa bumi, angin kencang (Singarimbun, 1999 : 339). Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa lingkungan merupakan berkah dan bencana dalam satu paket. Manusia adalah makhluk yang bijak, namun seringkali menjadi makhluk yang egois dan apatis terhadap lingkungan.

Terlebih di Indonesia, dari kedaan lingkungan di Indonesia yang kerab dilanda dengan bencana dan kurangnya informasi juga teknologi dalam  mengantisipasi bencana menimbulkan banyak kerugian baik dalam hal materi atau korban jiwa. Di samping itu sikap peduli masyarakat dalam menjaga lingkungan di sekitarnya juga terbilang masih kurang sehingga menyebabkan bencana seperti longsor akibat penebangan liar hingga banjir akibat kebiasaan membuang sampah sembarangan kerap terjadi. Dalam menghadapi permasalahan terkait sadar bencana, pemerintah juga terkesan gagap dalam mengantisipasi dan menghadapi bencana yang sering terjadi.

Kemudian angka bencana dari tahun ke tahun semakin meningkat. Seperti sepanjang tahun 2016 telah terjadi 2.384 bencana alam di seluruh Indonesia dan angkat tersebut meningkat dibanding tahun 2015 di mana bencana yang terjadi sejumlah 1.732 (bnpb.go.id). Dari banyaknya bencana yang terjadi di Indonesia, sebagian besar dikarenakan faktor hidrometeorologi yang berarti bencana alam yang dipicu oleh curah hujan lebat, deras dan basah sepanjang musim hujan (archive.act.id).

Hal ini kemudian menjadi perhatian karena data juga menyebutkan, ada sekitar 63.7 juta jiwa penduduk Indonesia yang hidup di daerah rawan banjir. Sementara 40,9 juta hidup di tanah-tanah pijakan yang rawan longsor (bnpb.go.id). Melihat dari data-data yang ada mengenai faktor bencana yang paling besar di Indonesia yaitu curah hujan lebat dan 63,7 juta penduduk Indonesia yang hidup di daerah rawan banjir maka seharusnya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat harus semakin efektif dalam mengantisipasi bencana tersebut.

Faktor keapatisan masyarakat ini juga menjadi pengaruh bagi permasalahan lingkungan (Singarimbun, 1999 : 335). Masyarakat yang tidak menjaga lingkungannya dapat dilihat dari kebiasaan membuang sampah sembarangan di berbagai tempat dan menebang pohon secara liar di mana hal tersebut menyebabkan saluran air macet, tanah longsor hingga rusaknya komponen lingkungan yang lain. Dampak dari hal tersebut adalah bencana banjir hingga longsor yang dapat merugikan materi hingga menelan korban jiwa.

Seperti di Bandung Selatan, Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terdapat sekitar 190 laporan kejadian banjir dari penduduk dengan jumlah pengungsi lebih dari 88.000 jiwa dari tahun 2002-2015 (bnpb.go.id). Dari data tersebut juga memperlihatkan bahwa banjir di Bandung Selatan terjadi hampir setiap tahun. Kemudian dilihat secara geografis Kabupaten Bandung yang dialiri Daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum terkenal sebagai langganan banjir. Contohnya pada Kamis tanggal 2 Maret 2017 dimana Citarum meluap dan memutus jalan penghubung antara Kabupaten Bandung dengan Kota Bandung menyebabkan kemacetan parah di daerah Dayeuhkolot hingga Banjaran.

Kemudian kepatisan masyarakat memperburuk keadaan terhadap lingkungannya. Bisa dilihat dari contoh kasus bencana banjir dan tanah longsor di di Kota Bandung yang sering dilanda banjir dan longsor di Kota Garut. Hal ini menjadi contoh keapatisan masyarakat terhadap lingkungannya karena kedua bencana di Bandung dan Garut tersebut terjadi karena ulah manusia mengubah fungsi lahan dan bukan karena curah hujan yang lebat

Hal ini kemudian menyadarkan masyarakat di sekitar Daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum untuk mengambil peran dalam mengantisipasi bencana. Hal inilah yang menyebabkan transformasi kebencanaan timbul. Masyarakat di Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung menjadi penggagas dan pelaksana yang tergabung di dalam Komunitas Garda Caah dan Jagai Balai.  Tepatnya pada 20 September 2008, penggagas Garda Caah yaitu Abdul Haq, Riki Waskito dan Dicky Wardiansah. Bertempat di sebuah rumah seorang pemuda setempat, gabungan dari sebelas elemen kepemudaan sepakat membentuk sebuah tim search and rescue (SAR) lokal dengan nama Garda Caah. Adapun elemen kepemudaan tersebut yaitu terdiri dari F Satu Majaaya, GM Majalaya, FKPA Korwil IV Kabupaten Bandung, GMB, KPL Majalaya, BSI, KNPI Majalaya, Rapi Lokal 04, KPPBM, Palm, dan Palka (bandung.bisnis.com). Komponen-komponen kepemudaan di Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung sendiri merupakan kumpulan dari warga yang terkena dampak banjir karena bermukim di sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum.

Komunitas Garda Caah (penjaga banjir) yang hadir di wilayah banjir sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum Majalaya adalah sebuah hal yang patut diapresiasi karena komunitas ini menjadi wadah bagi warga untuk berbagi informasi mengenai banjir. Upaya dari komunitas ini terbukti tidak sia-sia, hasilnya pada banjir besar 12 November 2008 misalnya, tak ada korban jiwa dan warga yang terluka akibat banjir minim. Hal ini dikarenakan warga sudah memperbanyak karung pasir untuk menahan air di bantaran sungai dan saat banjir tiba banyak warga yang sudah keluar dari rumah. Hasilnya, 4.231 warga kecamatan selamat, sekalipun tinggi lumpur sampai satu meter di beberapa titik.

Melihat terbentuknya Komunitas Garda Caah dapat dihubungkan dengan sebuah pandangan yang melihat keterkaitan antara penduduk, lingkungan, dan pembangunan yang menyatakan "dalam parameter kependudukan akan mempengaruhi perubahan pada parameter lingkungan hidup dan parameter pembangunan" (Singarimbun, 1999 : 333) maka terbentuknya Komunitas Garda Caah (penjaga banjir) yang hadir di wilayah banjir sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum Majalaya merupakan perubahan dalam kependudukan di mana timbulnya solidaritas sosial dalam menjaga dan membangun lingkungan di daerah banjir sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum Majalaya.

Kemudian tantangan saat ini adalah menjaga dan mempertahankan Komunitas Garda Caah dengan menggunakan faktor pembangunan berwawasan lingkungan yang bertujuan mengembangkan kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat sehingga tumbuh menjadi kesadaran berbuat (Salim, 1988 : 173). Oleh karena itu mengikutsertakan seluruh komponen masyarakat dengan tujuan mengembangkan kesadaran masyarakat tentang lingkungan akan merubah dan menjadikan masyarakat untuk berbuat baik pada lingkungannya dengan harapan masayarakat mampu menjaga dan membangun lingkungan pada Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun