Mohon tunggu...
Eduardus Benedictus Sihaloho
Eduardus Benedictus Sihaloho Mohon Tunggu... -

Peminat masalah sosial dan kemasyarakatan, senang membaca, suka menulis, pencinta olahraga khususnya Sepakbola, harus tetap cinta Indonesia untuk selamanya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ibu Tiri Berhati Mulia

29 November 2012   01:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:31 2766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Eduardus B. Sihaloho

Tulisan ini saya mulai dengan sebuah kisah. Kisahnya begini: beberapa tahun yang lalu saya sering mendampingi istri saya untuk mengunjungi para pasiennya. Salah satu pasiennya adalah ibu yang baru melahirkan dan anaknya. Biasanya setelah dua hari di tempat persalinan usai melahirkan, bidan yang merawatnya menyurung pulang ke rumah usai melahirkan. Di klinik persalinan itulah istri saya bekerja. Setelah pulang ke rumah, besok harinya istri saya datang mengunjungi pasien tersebut untuk memandikan bayi tadi dan merawat ibunya. Berkali-kali istri saya melakukan hal yang sama. Dalam kegiatan itulah istri saya sering mengajak saya untuk mendampingi atau sekedar membonceng dia naik sepeda motor selama menunjungi para pasiennya. Dari pengalaman tersebut, saya memperoleh pengalaman yang mengesankan hingga sulit untuk dilupakan begitu saja.

Pernah suatu kali kami mengunjungi pasien yakni anak dan cucu dari seorang tekong. Di tempat kami (Tanjungbalai-Asahan, Sumatera Utara) ini, tekong itu sebutan untuk semacam kapten kapal perahu pencari ikan di laut. Si tekong memiliki enam orang anak, empat orang dari istri pertama kemudian dua dari istri kedua. Istri pertama diceraikan. Namun semua anaknya tadi tinggal bersama dengan dia dan istrinya yang kedua. Artinya, semua anaknya dibolo (diasuh) oleh istri kedua. Sejauh saya amati bahwa keluarga ini sangat bahagia dan semua anak mereka rukun dan taat kepada orangtua mereka, walaupun secara biologis keempat anak dari istri pertama si suami itu bukanlah anak dari istri kedua.

Dalam istilah umum istri kedua itu sering disebut ibu tiri. Namun apa yang saya amati bahwa kesan galak, cerewet, pemarah, pilih kasih, hingga tindakan memukul sangat jauh dari istri yang kedua ini atau ibu tiri tersebut. Sebab semua anak-anaknya disayanginya sama seperti anak yang dilahirkannya sendiri. Bahkan yang paling mengesankan bagi saya adalah ketika satu dari “anaknya” yang perempuan itu melahirkan. Semua diurusnya dengan baik. Selama di persalinan juga dijagai, kebutuhan untuk orang yang akan melahirkan disiapkan, apa-apa yang diperlukan seorang anak yang baru lahir juga sudah disediakannya. Padahal suaminya sendiri ketika menjelang kelahiran cucunya itu berada di laut. Suaminya pulang dari melaut setelah empat hari cucunya lahir. Bahkan sebutan anak-anaknya kepada si ibu tadi adalah panggilan ummi. Padahal panggilan itu biasanya diungkapkan seorang anak kepada ibu kandung yang melahirkannya. Sedangkan kepada ibu yang melahirkan mereka adalah omak. Sikap yang sangat kontras saya amati ialah ketika ibu kandung yang melahirkan mereka datang mengunjungi adalah menjauhi dan tidak ada satu orang pun yang mau mendekat pada si omak itu. Karena selama ini sikap yang ditunjukkan oleh omak mereka jauh dari yang diharapkan dari seorang ibu kandung yang melahirkan anak.

Selama ini terjadi bahwa ketika ayah mereka pergi melaut serta merta tidak lama setelah ayah mereka pergi melaut, omak mereka juga pergi bersenang-senang kemana dia suka. Anak-anaknya ditinggalkan. Dia tidak perduli bagaimana situasi anak-anaknya setelah ditinggal pergi oleh suaminya saat pergi melaut. Namun beberapa saat sebelum suaminya pulang dari laut, si istri tadi juga sudah berada di rumah untuk memberesi rumah dan menjaga anak-anaknya. Biasanya suaminya senang, sebab sebelum dia berangkat ke laut istrinya selalu bersama anak-anak di rumah, demikian juga kalau dia sudah pulang dari laut, dia juga menemukan istrinya tetap berada di rumah. Namun tak selamanya sandiwaranya bisa dijaga dan ditutupinya. Sebab ketika anak-anaknya berada bersama ayahnya di rumah saat omak mereka berbelanja kebutuhan dapur semua anaknya itu melapor, bercurhat, dan menangis di hadapan ayah mereka. Mereka menceritakan apa yang mereka alami baik rasa takut karena tidak ada yang menemani di rumah, sebab mereka masih kecil-kecil. Begitu juga kebutuhan mereka tidak dipenuhi oleh omak mereka. Karena ketika ayah mereka pergi melaut, omak mereka juga pergi bersenang-senang dengan teman-temannya atau laki-laki lain.

Pada awalnya si ayah itu tidak percaya akan apa yang disampaikan oleh anak-anaknya. Namun setelah beberapa kali laporan yang hampir sama selalu sampai kepadanya, barulah dia mengerti dan dongkol mendengar perilaku istrinya. Biasanya si ayah berada di laut selama sepuluh hari, setelah itu pulang. Beberapa hari di darat, balik lagi pergi melaut. Demikianlah ritme hidup si tekong tersebut hingga akhirnya mengambil kesimpulan menceraikan istrinya dan menikah lagi dengan perempuan lain.

Sudah jamak dan lumrah terjadi bahwa setelah seorang suami bercerai dan menikah lagi, biasanya bukan kerukunan dan ketenteraman keluarga yang dia dapatkan melainkan percekcokan, perkelahian, atau pertengkaran. Namun pengalaman si ayah yang satu ini berbeda, sebab setelah dia menikah lagi dia menemukan kedamaian, ketenangan, dan kegembiraan. Sebab anak-anaknya yang ditingalkan bersama istri mudanya dijaga dengan baik selama dia berada di laut. Kebutuhannya dipenuhi. Kalau sakit diobati atau dibawa ke rumah sakit, kalau sakitnya lebih parah. Sebenarnya si ayah itu merasa cemas-cemas juga, sebab dia merasa bahwa jangan-jangan situasinya lebih parah dari situasi yang sebelumnya. Karena dia berpikir, orang yang melahirkannya saja bisa melakukan tindakan yang memalukan. Namun kekhawatirannya tidak terbukti, sebab anak-anaknya tidak mengalami hal-hal yang kejam dan menyakitkan. Karena dengan situasi yang baru, orang yang merawatnya bukan orang yang melahirkannya. Namun apa yang terjadi bahwa apa yang dikhawatirkan dan ditakutkan oleh si suami tak satu pun yang terjadi. Sebab istri mudanya adalah orang yang bertanggungjawab dan sangat menyayangi anak-anaknya.

Dari cerita di atas bisa ditarik beberapa kesimpulan:

Pertama, dengan mengungkapkan kisah di atas, nyata bahwa prototipe ibu tiri sebagai orang yang galak, cerewet, pemarah, suka menyakiti, egois, tidak bertanggungjawab, pilih kasih, yang tidak berbelaskasihan, disangkal. Memang tak bisa dihindari bahwa persentasi ibu tiri sebagai orang yang berhati mulia dengan orang yang kasar, galak, dan tidak berperikemanusiaan masih jauh perbandingannya. Namun gambaran ibu tiri yang selalu menampilkan sikap yang beringas bisa dikesampingkan dalam kisah ini.

Kedua, kisah di atas bisa memberikan gambaran yang sangat indah bagaimana anak-anak walaupun dipisahkan dari ibu kandung yang melahirkan mereka, kondisi mental mereka tidak otomatis down. Sebab ibu yang mereka dapatkan kemudian bukanlah monster yang menakutkan, walaupun mereka bukanlah anak kandung dari ibu tiri mereka.

Ketiga, kondisi psikis anak-anak tersebut sedikitpun tidak terlukai, walaupun perawat mereka kemudian bukanlah ibu kandung mereka. Malah ketika mereka bersama dengan ibu kandung mereka, suasana ketakutan sering menghampiri kehidupan mereka. Hal inilah seharusnya spirit yang harus dihidupi oleh para istri pengganti baik karena kematian maupun karena perceraian menghampiri suaminya. Sebab anak-anak yang dititipkan Tuhan baginya adalah orang-orang yang butuh kasih sayang. Dengan demikian rasa percaya diri anak-anak tersebut tetap tumbuh, walaupun ibu biologisnya tidak bersama mereka lagi. Artinya, sejauh saya mengamati keluarga tersebut bahwa hidup mereka selalu tentram dan jauh dari pertengkaran. Suasana kehidupan semacam inilah kiranya selalu dibangun oleh keluarga-keluarga yang memiliki ayah tiri, ibu tiri, atau anak tiri, agar cinta dan kasih sayang selalu terelihara dalam keluarga tersebut.

Keempat, sebagai bandingan kami juga menyitir sebuah kisah lain bagaimana seorang ibu tiri bisa juga sebagai ibu rohani. Sebagaimana pengalaman seorang ibu yang bernama: Tri Astuti. Ibu tirinya merupakan sosok yang menjunjungi disiplin dalam keluarga. Selain sangat disiplin, ibu tirinya amat taat beribadah. Begitu petang bertandang, seisi keluarga wajib bersekutu dalam doa. Seiring waktu berpilin, Astuti mengagumi ibu tirinya sebagai ibu rohani yang telah memupuk imannya sejak dini. Di kemudian hari, ia justru mensyukuri masa lalunya yang tak senantiasa ramah. ”Pengalaman itu membuat saya menempatkan Tuhan di atas segalanya,” ujarnya. Setelah Astuti menikah dengan Yosef Prijadi, tahun 1978, relasinya dengan ibu tirinya meranum. Belakangan, ia kerap mendengar sharing sang ibu yang menggugah nuraninya. Pintu hati Astuti pun terkuak lebar. ”Meski bukan ibu biologis, ia telah berjasa merawat dan membesarkan saya,” pujinya. Belakangan, Astuti merasa beruntung dikaruniai ibu demikian. ”Saya bersyukur, dididik dengan disiplin tinggi. Sebagai anak pertama, saya perlu memberi contoh yang baik kepada enam adik saya,” terangnya. (Hidup: Edisi No. 13 Tanggal 29 Maret 2009). Kisah ini juga menjadi bukti bahwa tidak selamanya bahwa ibu tiri menampilkan sosok yang galak, kejam, dan tidak berperikemanusiaan. Tapi ajaran dan perilaku yang ditanamkan oleh ibu tiri telah membentuk mental dan kepribadiannya sebagai orang yang senantiasa dekat dengan Tuhan. Akhirnya pada paruh hidupnya ia meluangkan waktu demi penyebaran Injil Tuhan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun