Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Algoritma Media Sosial di Era Post Truth

16 Januari 2022   07:14 Diperbarui: 16 Januari 2022   07:23 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi alogaritma media sosial (sumber: viva.co.id)

Algoritma Instagram 2021 jauh lebih kompleks dan holistik. Ini tidak hanya mempertimbangkan keterlibatan, relevansi, dan ketepatan waktu, tetapi juga perilaku dan preferensi pengguna secara keseluruhan. Semakin banyak suatu foto yang mendapatkan like atau  komentar maka semakin sering foto tersebut muncul.

Di bagian pengikut di Instagram, jika perhatikan bahwa akan menunjukkan kepada kita, akun yang paling jarang berinteraksi dan paling banyak ditampilkan di umpan. Data ini diambil dari komentar, suka, bagikan, dan simpan kita di pos akun tertentu. Algoritma Instagram selanjutnya menggunakan informasi ini untuk memahami suka dan tidak suka pengguna untuk mempromosikan posting akun itu ke peringkat yang lebih tinggi di umpan pengguna dan menyarankan akun serupa di bagian 'jelajahi'.

3. Algoritma Twitter

Algoritme Twitter memungkinkan relevansi dan waktu penerbitan sebagai parameter peringkat. Pengguna yang ingin melihat posting terbaru dapat mengubah pengaturan preferensi konten mereka. Jika ini tidak dipilih, Twitter akan memberi peringkat pada postingan seperti Facebook dan Instagram.

4. Algoritma LinkedIn

LinkedIn adalah platform unik yang lebih berfokus pada jaringan daripada menumbuhkan pengikut. Ini telah membantu para profesional menemukan pekerjaan yang tepat dan membantu perusahaan membangun reputasi merek.

Algoritma ini juga berfokus pada keterlibatan dan membangun koneksi. Pengguna LinkedIn bahkan dapat melihat postingan dari orang-orang yang belum terhubung dengan mereka di feed mereka jika seseorang dalam daftar mereka menyukai postingan tersebut.

5. Algoritma YouTube

YouTube adalah platform khusus video, dan karenanya, algoritmenya bekerja secara berbeda. Itu ingin pengguna menemukan, dengan cepat dan terus-menerus, video yang mereka minati untuk ditonton untuk terlibat dengan mereka dalam jangka panjang. Platform ini adalah mesin pencari dan, oleh karena itu, memberi peringkat konten berdasarkan relevansi dan minat pemirsa.

Para pembaca Kompasiana yang Budiman, perlu dipahami bahwa pola alogaritma yang digunakan oleh sebagian platform media sosial mengikuti kecenderungan dari para pengguna. Walaupun tentu tidak memiliki standar baku dari setiap platform media sosial tersebut. Sebagai misal, apabila seorang pengguna media sosial menyukai berita tentang hiburan, maka pengguna tersebut hanya akan mendapatkan segala macam berita yang bertema hiburan. Begitupun dengan pengguna lainnya yang menyukai suatu hal masing-masing.

Sadar ataupun tidak para pengguna  merasa bahwa media sosial yang paling mengerti dirinya dibandingkan dengan orang lain. Namun, hal ini memiliki kerugian karena media sosial memiliki segala informasi setiap penggunanya tanpa terkecuali bahkan sampai mengetahui hal yang sangat pribadi sekalipun. Problem semacam ini terus meningkat di era post truth.

Sekilas tentang era post truth

Istilah post truth digunakan pertama kali tahun 1992 oleh Steve Tesich. Dalam tulisannya The Government of Lies dalam majalah The Nation, menulis, “Kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan kita ingin hidup di dunia post truth.” selain itu, Tesich mengungkapkan pandangannya mengenai serangkaian skandal pemerintahan Amerika Serikat yang pada akhirnya mendorong rakyat Amerika untuk memilih "berlindung" dari kebenaran.

Tahun 2004, Ralph Keyes dan komedian Stephen Colber dalam tulisan The Post Truth Era, menulis hal yang kurang lebih sama: truthiness. Hal itu mengacu kepada sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali.

Istilah post truth bahkan menjadi word of the year di kamus Oxford pada tahun 2016. Puncaknya pada peristiwa yang menjadi momentum saat itu adalah keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat . Maka dari itu, Oxford sendiri mendefinisikan post truth sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun