Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Membantu di Ruang Publik, Tuluskah?

10 Oktober 2021   14:48 Diperbarui: 10 Oktober 2021   14:51 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemberian Bantuan (sumber: id.pngtree.com)

Bantuan meskipun kecil namun sangat berarti bagi orang yang menerima bantuan. Bagi orang bantuan tentu akan sangat bahagia. Sebab paling tidak kebutuhan atau pun keinginannya  terpenuhi. Apa lagi bantuan tersebut datang disaat yang tepat.

Bantu membantu adalah salah satu ciri khas kehidupan manusia dalam bersosialisasi. Adagium yang mengatakan tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri adalah benar. Atau juga yang paling khas dan sering kita dengar adalah tidak ada manusia yang sempurna karena sempurna hanya milik Allah.

Berangkat dari beberapa adagium tersebut, manusia diingatkan kembali akan hakekat dasar manusia yang selalu berdampingan satu dengan yang lain. Manusia memiliki visi dan misi masing-masing, namun tetap membutuhkan campur tangan orang lain untuk mencapainya. Suami butuh istri, anak butuh orang tua, siswa butuh guru adalah contoh konkrit manusiawi sebagai makhluk yang tetap membutuhkan orang lain.

Termasuk dalam hal menghadirkan generasi penerus, manusia tidak mampu berdiri sendiri. Dan dalam hal ini, manusia ditakdirkan untuk hidup berdampingan dalam ikatan perkawinan. Pria tanpa bantuan wanita atau pun sebaliknya wanita tanpa bantuan pria tidak menghasilkan keturunan seperti yang dingin oleh masing-masing individu.

Membatu dengan tulus, haruskah mendapatkan imbalan?

Dalam konteks bersosialisasi, interaksi manusia seringkali dianggap sebagai hubungan timbal balik. Standar ketulusan seseorang dalam membantu adalah tidak mengharapkan imbalan. Betulkah demikian? Ataukah kita harus kembali pada ungkapan "jika tangan kanan memberi tangan kiri tak boleh tahu".

Filosofi ungkapan tersebut tidak hanya sebatas ketika kita memberi, kita tidak harus mengharap  imbalan. Secara praktis tidak berarti jika seseorang hari ini ingin membantu,  berharap juga suatu saat ada orang lain yang membantu nya ketika mengalami kesulitan. Lebih dari itu, ungkap tersebut memiliki pemaknaan yang cukup luas dan mendalam. Apa itu?

Pernahkah kita berpikir membantu orang karena kelebihan kita? Dengan demikian, apakah kita masih berani berkata saya tulus membantu orang tersebut? Sebab jika demikian, bukan ketulusan yang menggerakkan hati kita untuk membantu namun karena kelebihan kita. Biarlah orang lain yang menilai: hebat yach, dengan kelebihan nya tersebut dia gunakan untuk membantu orang.

Orang tidak mungkin memberi dari "ketidakadaan" nya. Memberi dari apa yang tidak kita punya sangatlah tidak mungkin. Namun, memberikan dari kekurangan kita merupakan hal yang istimewa. Rela memberikan walau pun kita sendiri membutuhkan adalah bentuk ketulusan yang otentik. Disini lah peran "hati" yang mendominasi dalam memutuskan untuk memberi.

Bicara ketulusan dalam hal membantu memang serba dilematis. Sebab ketulusan menitikberatkan pada  motivasi seseorang dalam hal membantu. Hanya orang yang membantu tersebutlah yang mengetahui motivasi baiknya. Berbeda lagi dengan keikhlasan memberi, yang lebih menitikberatkan pada kerelaan akan apa yang diberikan kepada orang lain. Namun masih pada posisi yang sama baik ikhlas dan tulus sama-sama rumit untuk diuraikan secara jelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun