Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Oposisi Oplosan

3 September 2021   18:26 Diperbarui: 4 September 2021   06:11 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dewan Perwakilan Rakyat (Sumber: Merdeka.com)

Oleh. Eduardus Fromotius Lebe

(Penulis, Dosen & Konsultan Skripsi)

Dalam praktik politik demokrasi, acap kali kita mendengar kata "oposisi". Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefensikan oposisi sebagai partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa. Secara prinsip, kehadiran partai oposisi sebagai pengimbang partai politik yang berkuasa dipemerintahan. Sehingga, partai oposisi yang berada di Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memilki andil besar untuk mengontrol kebijkan pemerintah agar tetap on the track.

Oposisi terdiri atas satu atau lebih partai yang bekerja sama diluar pemerintahan. Pada sistem presidensial, oposisi sebenarnya terbentuk secara alamiah saat partai politik atau gabungan partai politik mendukung calon presiden, gubernur, bupati/walikota namun kalah dengan calon yang didukung oleh partai atau gabungan partai lain saat pemilu. Sebab idealnya, saat partai atau gabungan partai yang calon nya menang pemilu membentuk pemerintahan maka partai atau gabuangan partai yang kalah siap menjalankan peran sebagai oposisi.

Di Indonesia peran partai politik sangat dipengaruhi oleh pimpinan partai politik. Hal ini juga berpengaruh terhadap konsistensi partai politik untuk bertahan pada status quo sebagai oposisi. Pragmatisme piminan partai politik untuk berkuasa seringkali dianggap sebagai dinamika biasa dalam ruang demokrasi di Indonesia. Implikasinya jelas bahwa banyak partai yang bergabung dengan koalisi pemerintah sehingga fungsi oposisi tidak berjalan secara maksimal.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana Partai Gerinda yang mengusung Prabowo Subianto di Pemilu Presiden 2019 yang pada akhirnya bergabung di pemerintahan.  Saat itu partai PDIP sebagai the ruling party karena memenangkan Joko Widodo sebagai presiden. Fenomena ini sungguh mengejutkan berbagai kalangan baik pengamat, akademisi dan masyarakat Indonesia pada umumnya.  Sempat berpikir bahwa Partai Gerinda akan menjadi the real opossition bagi pemerintahan presiden Joko Widodo. Manuver partai gerinda ikut bergabung ke dalam pemerintahan seolah ingin mengaskan kembali adagium bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi.

Di pertengahan waktu masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada periode ke 2 ini, giliran Partai Amanat Nasional (PAN) yang ikut bergabung dalam koalisi pemerintah. Kondisi ini menjadi sangat tidak ideal bagi proses demokrasi di lembaga DPR. Persis tinggal dua partai yang berperan sebagai oposisi namun masih kalah jauh dari jumlah kursi partai pendukung pemerintah. Kedua partai tersebut adalah Partai Demokrat dan Partai Keadilan dan Kesejahteraan (PKS).

Secara kuantitas komposisi kursi dewan partai oposisi sangatlah sedikit bila dibandingkan dengan partai pendukung pemerintah. Sebenarnya, penulis sendiri tidak terlalu merisaukan kuantitas kursi anggota dewan partai oposisi asalkan kualitas kinerja anggota dewan partai oposisi jelas serta terukur. Sekalipun, penulis menyadari bahwa kuantitas sangatlah diperlukan apabila  pengambilan keputusan di dewan melalui mekanisme voting.

Dalam kondisi yang serba tidak menguntungkan, partai oposisi harus bisa memanfaatkan momentum untuk membangkitkan animo masyarakat agar bersama-sama mengontrol dan mengawasi kebijakan-kebijakan pemerintah. Sejarah mencatat bahwa gerakan kekuatan rakyat (civil society) pernah menggulingkan presiden Soeharto yang terkenal otoriter. Walaupun secara prinsip penulis sangat tidak mengharapkan itu terjadi di era reformasi seperti sekarang ini. Jika kembali terjadi maka akan berdampak buruk karena akan  memakan banyak korban, yang tidak lain dan tidak bukan adalah anak bangsa Indonesia sendiri.

Partai oposisi bersama rakyat, bersuara lantang mengkritik pemerintah apabila ada kebijakan yang merugikan rakyat. Sesuai dengan prinsip demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tidak salah  jika oposisi menggerakkan kekuatan civil society dalam menentang kebijakan pemerintah. Namun gerakan yang dimaksud adalah gerakan yang konstruktif serta mampu memberikan solusi konkrit bagi pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun