Mohon tunggu...
Eddy Salahuddin
Eddy Salahuddin Mohon Tunggu... Guru - Indonesia

Menulis menghibur diri dan mengungkapkan rasa dengan hati dan jiwa yang terdalam. Berjuang demi generasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Camui

14 Mei 2020   18:05 Diperbarui: 14 Mei 2020   18:04 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Romli, aku ingatkan ya, tambang itu tidak akan dihentikan. Kau jangan coba-coba membujukku dan anak buahku yang lain." Yanto menjawab sinis sapaan Romli. Ia tak suka bila Romli sok ramah kepadanya.

"Maaf, Yanto! Aku tak bermaksud buruk kepadamu. Terserah kau kalau tidak mau menghentikannya. Lagi pula apa untungnya bagiku kalau tambangmu tetap kau pertahankan. Kau perlu ingat jika tambang itu terus digali, akibat buruknya memang belum dirasakan dalam tiga hingga lima tahun. Kita semua akan merasakan dampaknya nanti, sepuluh bahkan dua puluh tahun kemudian. Apakah kau ingin anak cucumu nanti mewarisi kerusakan alam yang kian parah? Jawab Yanto!" Suara Romli menggema hingga ke sela-sela pohon sawit.

Romli menghentikan kata-katanya. Ia menatap Yanto nanar. Yanto mengepalkan tangannya. Hatinya geram mendengar ucapan yang didengarnya. Darahnya terkesiap hingga ke ubun-ubun. Yanto tak tahan lagi. 

Tatapan Romli berujung dengan hilangnya kesadaran akal sehatnya. Hatinya sudah dirasuki kebencian hingga, plakk! Tangan kanannya melepaskan sebuah pukulan keras. Pelipis Romli terkena darah segar mengucur. Pukulan yang menyebabkan Romli terhuyung-huyung.

"Pak, Pak! Apa yang kau lakukan Yanto? Tega ya kau memukul suamiku." Istri Romli berteriak histeris melihat suaminya yang sudah berlumuran darah. Hatinya bergetar melihat kejadian yang tak disangka-sangka itu. Ingin ia membalasnya tapi hati kecilnya melarang. Lebih baik ia menyelamatkan suaminya dari kemarahan Yanto.

"Itu balasan bagi orang yang tidak tahu sopan santun. Beritahu suamimu ini kalau ia masih menghalangi niatku, jangan menyesal nantinya," Yanto bergegas meninggalkan Romli tanpa rasa bersalah.

"Sudah, Pak! Kita pulang saja ya! Besok saja kita ke kebun. Lebih baik luka di pelipis ini kita obati dulu."

"Kurang ajar, Yanto! Dasar manusia tak punya hati. Dia pikir masalah bisa selesai dengan kekerasan." Romli mencoba menerima kejadian itu. Ia yakin, yanto akan menyesal telah berbuat salah.

Hujan lebat turun mengiringi kedua suami-istri itu pulang ke rumahnya. Basah kuyup pakaian keduanya setiba di rumah. Istrinya bergegas menghangatkan air untuk membasuh badan suaminya dan membawakan segelas teh hangat. Luka di pelipis hanya ditutupi dengan obat luka seadanya.

Menjelang senja, suatu yang menjadi balasan bagi kelakuan manusia yang angkuh dan sombong menyebar ke seluruh warga desa. Di lokasi tambang, di lubang yang membawa petaka itu telah memakan satu nyawa lagi. Tetapi semua tak tahu, siapa yang menjadi korban kali ini. Semua hanya menduga-duga, apakah Yanto yang ditelah camui itu.

Sosok yang esok harinya ditemukan di lokasi menghitam tersambar halilintar. Pakaiannya terkoyak-koyak. Warga segera membawa jenazah misterius itu untuk diurus pemakamannya. Romli yang diperintahkan Pak kades untuk mengurus semuanya. Desa kembali berduka. Namun, mereka bersyukur karena kini desa mereka sudah menghijau dengan kabun sawit dan tanaman siap panen. Pak kades gembira karena warga desanya sudah menyadari arti pentingnya menjaga lingkungan yang lestari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun