Mohon tunggu...
Edi Santoso
Edi Santoso Mohon Tunggu... Dosen - terus belajar pada guru kehidupan

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tentang Tanda yang Tak Pernah Alpa

27 Mei 2018   08:54 Diperbarui: 27 Mei 2018   09:07 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore kemarin, menanti buka puasa dengan membincangkan 'tanda' di kelas Filsafat Komunikasi bersama para mahasiswa program Magister Ilmu Komunikasi. Di kelas ini, pada paruh kedua semester, saya memang lebih menekankan pada filsafat bahasa. Karenanya, membahas dimensi filsafat dalam semiotika tak terelakkan.

Tentu saja, membahas semiotika akan membawa kita pada pemikiran tokoh-tokoh seperti Ferdinand De Saussure, Charles Sanders Pierce, atau Roland Barthes. Karena ini bukan kelas metode penelitian, saya lebih menggaris bawahi 'hakikat semiotika' dalam kehidupan sehari-hari, ketimbang aspek teknis dalam membaca teks.

Hakikat tanda dibatasi oleh kebermaknaan. Sesuatu baru disebut tanda jika memiliki makna. Ini batasan yang sangat luas tentu saja, mengingat rasanya sulit mencari sesuatu yang tak bermakna. Tapi tetap saja ada yang tak bermakna, misalnya objek atau benda-benda di sekitar kita yang luput dari perhatian orang. Begitu objek tersebut mendapat perhatian, kemudian disematkan makna atasnya, maka dia menjadi tanda.

Bunga-bunga yang tumbuh di kebun misalnya, awalnya tak berarti apa-apa. Begitu dipetik salah satu dan dipakai untuk mengungkapkan perasaan, maka bunga itu adalah tanda. Atau kebun itu sendiri kemudian bisa menjadi tanda, ketika dimaknai bahwa sang pemilik orangnya romantis, suka kedamaian, atau penikmat keindahan.

Saussure menyebut bunga atau kebun itu sebagai penanda (signifier) yang merujuk pada suatu. Sedangkan konsep tentang rasa, romantisme, kedamaian atau keindahan yang dirujuknya (yang ada di benak kita) disebut sebagai petanda (signified).

Semua bisa menjadi penanda bagi orang yang cermat dan pengetahuannya luas (sok tahu?). Apalagi kalau dibawa dalam pemikiran post-strukturalis yang mengandaikan makna adalah milik sang penafsir sepenuhnya, betapa tanda-tanda itu sangat dinamis. Satu tanda bisa beragam makna (polisemik) atau sebaliknya, satu makna bisa diwakili oleh berbagai tanda.

Dalam kehidupan sehari-hari, semua bisa dianggap sebagai teks yang bisa dibaca atau ditafsirkan secara semiotis, baik dalam dimensi personal atau kelembagaan. Pilihan warna, gaya penataan ruang, mode baju, sepatu, tas tenteng, lokasi pertemuan, teman makan, atau gaya bicara bisa dianggap sebagai tanda yang multitafsir.

Alam semesta raya ini, bukankah juga sebuah tanda? Mereka ada karena ada penciptanya. Mereka membentuk harmoni, karena ada yang mengaturnya. Wujud dan harmoni alam adalah penanda keberadaan Sang Pencipta. Begitulah orang beragama membaca tanda alam.

Dalam kehidupan praktis, pembacaan tanda-tanda itu bahkan telah termanfaatkan sejak zaman lampau dalam bentuk kearifan-kearifan lokal. Seperti para leluhur kita yang menyimpulkan pola tanda-tanda alam menjadi sebuah panduan bagi petani dalam wujud pranoto mongso.

Di luar kenyataan ada orang yang sok tahu (sehingga semua ditafsirkan), kenapa ada orang bisa memberi makna lebih banyak dibanding yang lain? Ada orang yang bisa 'melihat' lebih banyak dibanding yang lain. Ini yang saya lupa tekankan dalam kuliah sore itu, sebuah kaidah lama, 'the more you know, the more you see'. Semakin banyak yang kita tahu, semakin banyak yang bisa kita lihat. Artinya, kemampuan kita memaknai tanda akan berbanding lurus dengan akumulasi pengetahuan dan pengalaman kita.

Lalu, apa nilai filsafat dari semiotika? Jika filsafat berarti berpikir mendalam yang akan melahirkan kearifan, pemahaman akan tanda sejatinya adalah dorongan bagi orang untuk peka terhadap sekitar. Kata orang Jawa, tanggap ing sasmito. Berjuta tanda di sekitar kita. Tak pernah alpa. Yang bijak, adalah mereka yang sadar tanda. Teruslah belajar, agar semakin banyak sisi dunia yang bisa kita simak. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun