Mohon tunggu...
Edrida Pulungan
Edrida Pulungan Mohon Tunggu... Analis Kebijakan - penulis, penikmat travelling dan public speaker

Penulis lifestyle, film, sastra, ekonomi kreatif Perempuan ,Pemuda, Lingkungan dan Hubungan Luar Negeri Pendiri Lentera Pustaka Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Toga Kelima

26 Februari 2014   23:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:26 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13934058541950515905

[caption id="attachment_324861" align="aligncenter" width="300" caption="toga kelima doc www.kaskus.co.id"]
[/caption]

Rangga melihat adiknya mengumpulkan setumpuk dokumen laboratorium, sampel benih. Semua laporan lab diketiknya malam ini. Di zaman yang canggih kampusnya mengharuskan mahasiswa menulis laporan pakai mesin tik meski sudah ada komputer.

Ratih setengah jongkok mengangkat mesin tik tua warisan Bapak mereka. Ratih adalah adiknya paling bungsu yang masih kuliah di Fakultas pertanian jurusan bioteknologi. Entahlah dulu Ratih memang tidak berniat masuk kuliah pertanian lebih senang masuk fakultas kedokteran. Entah apa alasannya. Mungkin karena Masyarakat juga menggap dokter itu profesi mulia karena menyelamatkan manusia. Meski semua profesi yang bermanfaat untuk orang banyak adalah mulia.

Jas putih dan stateskop adalah benda simbol para medis yang menjadi kebanggaannya. Dia selalu senang dengan semua yang berbau medis. Ratih menyerah bermimpi menjadi dokter setelah semua mimpinya kandas dengan tiga kali seleksi tes masuk kedokteran, maka puncak kesetiannya yang harus diakhiri. Fakultas Pertanian sebagai kampus perjuangannya, untungnya masuk universitas negeri pula di pulau Sumatera yang kata nenek moyang adalah " tanah emas" . Dan dia harus membuktikannya ketika aroma tanah menjadi sesuatu yang dekat dengannya.

Ratih masuk kampus dengan semangat setengah hidup setelah separuh jiwanya nelangsa, Toh berjodoh dan berdamai bagi sesuatu yang tidak disukai adalah pilihan terakhir baginya. Hingga akhirnya dia sadar mau tak mau dia harus mencintai tanah, benih, laboratorium dan mesin tik tua yang menemaninya. Saya sebagai abangnya cukup salut dengan perjuangannya. Meski saya tahu kondisi fisiknya yang alergi panas matahari tetap membuatnya bertahan hingga 4, 5 tahun lamanya berjuang dengan tugas lab dan bunyi mesin tik yang sering mengganggu tidur malamku. Maklumlah tugasku sebagai jurnalis lepas membuat hidupku terus berkutat dengan waktu yang tak bisa kuajak kompromi, kadang liputan malam, pagidan siang mengubah gaya hidupku menjadi tak teratur. Untung aku masih bisa menuntaskan sarjanaku di fakultas teknik swasta. Setidaknya aku masih dianggap punya otak oleh adikku. Meski cuek aku tetap orang yang menghargai keilmuawan. Inilah perjuangan yang akan terus kutularkan buat adikku yang belum bisa kubahagiakan itu. Karena aku belum bisa mengantarkannya ke lahan naik roda empat seperti teman-temannya yang rata-rata dari keluarga kaya lengkap dengan fasilitas. Motor bututku yang roda dua menjadi andalan kami untuk mengantarkannya ke lahan yang lumayan jauh dari kampus. Meski hujan panas menjadi saksi perjuangan kami. Toh adikku tidak pernah mengeluh. Mungkin baginya tiada gunanya lagi. Semua yang sudah ada di depan harus dijalani.

Akh, air mataku berlinang melihat sepucuk undangan terletak di meja kamarku. Undangan Prosesi Wisuda. Beruntungnya adikku menjadi mahasiswa berprestasi. Aku sebagai abang mewakili almarhum Bapak, sebagai kakak tertua. Dan Ibu juga akan turut serta mendampingi. Aku tahu di masa pensiunnya dia merasa sendiri namun tetap semangat mendampingi kami putera-puterinya. Kadang aku mengkhayal Andai almarhum Bapak disini, pasti dia akan tersenyum bangga pada anak-anaknya. Dan mungkin akan mentraktirku makan sate kesukaanku. Hal-hal sederhana yang membuat bahagia, Itulah ciri khas Bapak yang humoris. Lelaki cerdas, visoner dan pemimpi. Namun hanya jiw apemimpinya yang aku warisi. Hingga detik ini aku masih bermimpi menjadi seorang doktor, bukan karena gelarnya tapi pencapaian dan menikmati ilmu sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri. Akh semua tinggal mimpi.

Namun ada sesuatu yang kubanggakan kini. Mendampingi empat orang adik dengan prosesnya mencintai ilmudan menemukan dirinya sendiri.

Februari ke sekian kali di awal tahun. Kuketik sesuatu di blogku. Entah mengapa mataku tak bisa terpejam, Ada perasaan haru dan bahagia yang berkejaran.

Bapak janjiku sudah kutepati. Semua adik-adik sudah kudampingi menuju menara gading. Menjadi sarjana seperti impianmu di suatu sore berpayung senja. Namunamanah itu tak akan pernah usai. Teimakasih sudah mempercayaiku menerima sebuah janji dan bakti.

Sudah jam 03.00 wib. Segera kutunaikan sholat qiyamul lail. Membaca beberapa lembar mushaf qur’an. Layar laptopku masih menyala.Akupun memandang photo keluarga dengan background masjid di belakangnya. Photo tua, photo terakhir saat almarhum Bapak masih bersama kami. Photo yang diambil selepas sholat ied. Bapak mengenakan koko berwarna coklat hadiah dari Ibu, dengan sarung kota-kotak berwarna coklat muda, duduk disamping ibu dengan kerudung merah dan baju merah muda, aku berdidir ditengah didampingi empat saudara perempuan.photo yang historis dan manis. Mataku kupejam dalam, menarik nafas dan terdiam.

Esok jubah toga kelima akan menjadi saksi. Ratih akan mengenakannya dibalik kebayanya yang anggun dengan brokat hijau. Bapak, lihatlah dan dengarkan betapa indahnya sebuah perjuangan dan janji yang beriringan di waktu yang sudah ditentukanNya. Toga kelima persembahan buat almarhum Bapak di februari yang indah.

Inspiring Story, Marta Purba, seorang Ibu single parents dengan dua anak sarjana, auditorium USU

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun