Mohon tunggu...
Yoga Prasetyo
Yoga Prasetyo Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar menjadi penulis pembelajar

Mahasiswa Pascasarjana, SB-IPB University. Praktisi industri keuangan, khususnya keuangan mikro, asuransi mikro, ekuiti mikro dan asuransi syariah. Memiliki minat yang luas pada berbagai topik diskusi. Berkesempatan berbicara pada beberapa seminar dan forum di dalam dan luar negeri.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Senjakala Profesi Agen Asuransi?

14 Januari 2018   10:10 Diperbarui: 5 November 2018   19:28 12218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stephen Elop. Photo taken from nairaland.com

Tidak perlu diulang lagi berpuluh-puluh atau beratus-ratus contoh mengenai bagaimana teknologi telah mendisrupsi bisnis dan kehidupan kita. Sebut saja, setelah telepon rumah terdisrupsi telepon genggam, setelah taksi konvensional terdisrupsi taksi online, setelah toko fisik terdisrupsi e-commerce, yang paling hangat sekarang adalah ancaman disrupsi yang melanda perbankan.

Dalam dunia perbankan, fungsi transaksi over the counter sudah sejak lama terdisrupsi oleh ATM.  Sejak itu, bank-bank mengurangi meja-meja kasir dan mengarahkan nasabahnya untuk bertransaksi di ATM. Pada era sekarang sebagian fungsi ATM mulai terdisrupsi oleh internet banking, mobile banking dan online banking. Yang paling mutakhir tentunya, fungsi-fungsi transaksi itu sekarang sudah kehilangan batas-batasnya dengan hadirnya teknologi keuangan atau fintech.

Ambil contoh GoPay, sebuah platform yang awalnya berasal dari bisnis transportasi online sekarang terintegrasi dalam gaya hidup dan keseharian penggunaanya, kemudian berkembang tidak hanya untuk transaksi di dalam ekosistem transportasi online, melainkan juga di hampir semua kebutuhan belanja online, mulai dari pembelian pulsa dan tiket nonton sampai transfer uang layaknya layanan perbankan penuh saja. 

Begitu pula, fungsi penyaluran pinjaman oleh perbankan, hari-hari ini sedang terdisrupsi oleh platform fintech yang disebut peer to peer (P2P) lending. Pemilik uang dan peminjam dipertemukan langsung dalam satu platform. Pemilik platform tidak perlu mempunyai uang untuk disalurkan. Dia juga hanya perlu mengutip sejumlah fee untuk pelayanan, tidak perlu mengambil resiko gagal bayar dan tidak perlu mencadangkan ini-itu. Sesederhana itu.

Melihat semua contoh disrupsi di atas, pertanyaan yang paling mendasar adalah: Apa yang salah dengan bisnis yang telah puluhan tahun bercokol, mendadak seperti ditelan bumi? 

Ada jawaban rumit, ada jawaban sederhana. Jawaban rumitnya: Terus terang, saya belum sepenuhnya tahu. Jawaban sederhananya: Karena di dalam bisnis yang ada sekarang terlalu banyak inefisiensi yang pada akhirnya, ada pihak yang harus membayar inefisiensi ini.

Untuk memahami inefisiensi, kita mulai dengan beberapa pertanyaan berikut:

  • Pada bisnis taksi konvesional, siapa yang pada akhirnya membayar gaji tetap sopir taksi, karyawan perusahaan, biaya pengecatan kendaraan yang seragam itu, biaya marketing, iklan dan sebagainya?
  • Pada bisnis toko di mal, siapa yang pada akhirnya membayar biaya sewa mal, biaya marketing, biaya event untuk mendatangkan crowd?
  • Pada bisnis pinjam meminjam, siapa yang pada akhirnya harus membayar biaya akibat ada nasabah yang tidak patuh, siapa yang membayar gajo account officer, manajer cabang, sewa gedung dan sebagainya?

Jawabannya adalah: PELANGGAN! Nah, sampai di sini saya akan berhenti dulu. Kita akan coba berbelok dulu pada apa yang terjadi dalam bisnis asuransi.

Asuransi, pada konsep yang paling mendasar (dan ini yang kemudian dipertahankan menjadi konsep asuransi syariah berdasarkan prinsip ta'awun), adalah kesepakatan di antara sekelompok orang untuk saling membantu, yaitu memberikan santunan kepada siapa pun anggota kelompok itu yang mengalami musibah. Dalam kesepakatan itu, ditetapkan pula besarnya uang santunan, besarnya iuran serta kapan santunan dibayar dan kapan iuran dikumpulkan.

Tahukah Anda? Setelah bisnis asuransi berevolusi ratusan tahun, menghasilkan bisnis trilyunan dollar, memberangkatkan jutaan agen untuk plesir ke seluruh dunia, saat ini ada sebuah perusahaan asuransi kecil di New York yang bernama Lemonade yang justru kembali pada prinsip asuransi paling "primitif" tadi? Lemonade menyelenggarakan platform yang memungkinkan orang-orang bersepakat mengasuransikan dirinya. 

Dana yang dikumpulkan orang-orang itu tetap milik mereka sebagai anggota. Iuran itu murni premi asuransi, tidak ada embel-embel investasi. Jadi sangat murah. Dari iuran itu, Lemonade hanya mengutip 20% sebagai biaya layanan. 

Kalau ternyata dana yang terkumpul itu tersisa setelah dikurangi pembayaran klaim, maka sebagian sisa dana dikembalikan kepada anggota sebagian lainnya didonasikan sesuai keinginan si anggota. 

Kalau dana yang terkumpul itu kurang, maka barulah ada peran perusahaan reasuransi di sini. Ajaibnya, proses pendaftaran dilayani oleh chatbots, seperti berinteraksi dengan manusia tapi itu adalah robot dengan artificial intelligence. Proses klaim pun bisa disetujui dalam tiga detik!

Dengan hadirnya Lemonade, maka premi asuransi menjadi sangat efisien dan sangat customized. Lemonade adalah salah satu contoh  insurance technology atau insuretech. Konsep Lemonade dan insuretech masih terus berkembang dengan inovasi-inovasi berikutnya untuk menuju penyempurnaan.

Lalu apa kabar bisnis asuransi Indonesia?

Setuju atau tidak, selama ini pasar asuransi Indonesia diuntungkan oleh "ketidaktahuan" nasabah dan "ketidakmautahuan" stakeholder lainya. Sebut saja satu cerita paling menonjol: asuransi jiwa unit linked.

Kalau mau jujur, unit linked adalah produk paling tidak efisien yang pernah ada dalam bisnis asuransi. Bagaimana tidak? Atas nama kata sakti "berasuransi sambil berinvestasi", seseorang harus membayar 30% - 40% komisi kepada teman atau saudaranya yang memperkenalkan produk itu. 

Singkatnya, kalau Anda punya uang 100 juta, kemudian membeli unit linked dari tetangga Anda, maka setidaknya tetangga Anda itu sudah mengantongi dulu 30 juta, entah sekaligus atau bertahap sesuai skema produk. Sisanya yang 70 juta, dipotong biaya asuransi dan biaya lainnya, taruhlah tinggal 60 juta.

Nah, sebetulnya, 60 juta inilah uang yang Anda investasikan. Jadi, yang Anda lakukan dengan unit linked adalah menempatkan 60 juta uang Anda pada instrumen setara reksadana, kemudian berharap dalam kurun waktu tertentu akan kembali menjadi 100 juta, 120 juta, 150 juta dan seterusnya. Sementara itu, resiko investasi sepenuhnya Anda sendiri yang tanggung! 

Bisa dibayangkan berapa waktu yang dibutuhkan untuk membuat 60 juta Anda menjadi 150 juta, karena itu artinya Anda harus mempunyai tingkat pengembalian investasi sampai 150%. Mau tahu berapa rata-rata tingkat pengembalian investasi reksadana setahun? Antara minus dan tidak lebih dari 30%.

Nah, sampai di sini mulai jelas benang merah antara cerita disrupsi di atas tadi, dengan bisnis asuransi di Indonesia. Bahwa suatu saat, semua inefiensi dalam bisnis atau industri akan dihajar oleh teknologi sehingga mencapai titik equilibrium. 

Menurut saya, inefisiensi dalam bisnis asuransi, adalah biaya-biaya yang dipakai untuk plesir ke seluruh penjuru dunia tadi. Bagi insuretech, biaya-biaya itu jelas tidak diperlukan, karena ujung-ujungnya yang membayar adalah: PELANGGAN.

Sampai hari ini, saya masih mendengar begitu banyak orang yang sangat percaya diri mengatakan, "Tidak! Bisnis asuransi itu beda dengan yang lain. Asuransi itu masih dijual, bukan dibeli. Jadi selamanya agen asuransi akan tetap dibutuhkan."

Saya jadi teringat ketika CEO Nokia, Stephen Elop, menyampaikan pidato terakhirnya sambil meneteskan air mata. Itu terjadi hanya beberapa tahun setelah Nokia merajai dunia telepon seluler dengan sangat jumawa.

"We didn't do anything wrong, but somehow, we lost..." -Stephen Elop, Nokia ex CEO-

Mungkin sebagian dari kita bertanya, apakah Lemonade ada di Indonesia? Jawabannya, belum. Tapi tidak ada yang pernah tahu kapan insuretech seperti itu akan mendisrupsi bisnis asuransi kita. Ingat, sepuluh tahun dari sekarang, para pemilik uang adalah generasi milenial. 

Mereka adalah generasi yang lebih percaya pada Mbah Gugel daripada gurunya, apalagi kepada agen asuransi.

Apakah benar kita sedang menghitung hari? Mari sama-sama menjadi saksi. Insya Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun