Mohon tunggu...
editan to
editan to Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mengelola Usaha Percetakan

memperluas cakrawala

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rizieq Shihab dan Fenomena Demagog

29 November 2020   21:28 Diperbarui: 30 November 2020   08:45 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto: The Guardian)

KETIKA Anies Baswedan mengunggah foto tengah membaca buku How Democracies Die banyak orang menerjemahkan pesan yang hendak disampaikan. Banyak tafsir dengan aneka  kacamata yang kemudian muncul di publik. Ada yang menganggap Gubernur DKI Jakarta itu tengah mengkritisi Jokowi.

Masyarakat yang lain menilai Anies yang pernah malam-malam sowan ke rumah Rizieq Shihab,  baru mencari pembenaran atas sikapnya yang permisif alias pembiaran terhadap pentolan FPI tersebut. Tentu hanya sang mantan Mendikbud sendiri yang mengetahui maksud atas foto yang diberi ucapan selamat pagi itu. 

Namun, ada yang menarik  kemudian, Anies sangat kooperatif saat dipanggil kepolisian atas kasus kerumunan Rizieq. Ia juga mencopot Walikota Jakarta Pusat karena dianggap lalai atas kerumunan hajatan di rumah Rizieq Shihab.

Kedua sikap itu menunjukkan kemudian bahwa Anies sependapat bahwa telah terjadi kesalahan dalam kerumunan yang dilakukan Rizieq Shihab. Pencopotan walikota adalah bentuk koreksi nyata atas sikapnya yang banyak disebut permisif terhadap sepak terjang Rizieq  pasca kepulangan dari Arab Saudi.

Dalam buku karya dua profesor ilmu politik dari Universitas Harvard yang bila dialih bahasakan sebagai 'Bagaimana Demokrasi Mati' muncul penjelasan menarik tentang kaum demagog alias tokoh-tokoh ekstrim di luar sistem.

Kaum demagog ini sudah menjadi tema pembahasan politik klasik seperti di era Socrates atau Plato. Artinya sejak zaman Athena kuno hingga era digital tetap ditemukan fenomena demagog itu. Sosok Presiden Donald Trump dianggap contoh dari fenomena tersebut. Ia  destruktif menjelma menjadi ancaman nyata dalam kehidupan demokrasi.

Sosok Trump berhasil menyulap diri melalui pengaruh media sehingga menjadi sosok yang mudah ditangkap rakyat. Ia unggul dengan memanfaatkan kelompok mayoritas yang ekstrimis, dan menciptakan polarisasi rakyat yang kian tajam.

Bahaya demagog sudah disinggung oleh George Washington pada 6 Juni 1787. Ia memandang penting untuk mencegah demagog berhasil mendapatkan kekuasaan karena bisa menghancurkan bangsa. Adanya krisis politik bisa membuka pintu masuk kaum demagog, sehingga bisa menjadi ancaman mengerikan bagi Amerika Serikat.

Washington tidak mengarahkan tudingan demagog kepada lawan politik tetapi lebih pada telaah forensik sejak zaman Yunani dan Romawi yaitu aktor yang memperoleh kekuasaan melalui daya tarik emosional melalui prasangka, ketidakpercayaan, dan ketakutan.

Seperti juga telah jauh diingatkan oleh bapak pendiri bangsa Amerika Serikat Alexander Hamilton. Sosok Demagog tak lebih sebagai orang yang berbekal teori kosong tetapi mampu mengobarkan kebencian. Ia meraih popularitas melalui permainan emosi massa yang gampang disulut oleh agitasi.

Ia mendulang dukungan dari pendukung fanatik sehingga lebih mengarah pada kultus pribadi. Ia menggelorakan semangat pendukung dengan membakar perbedaan seperti golongan, ras, dan agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun